Jumat, 29 Oktober 2010

Perdebatan Mengenai Hak Menguji Materiil dalam Perumusan UUD 1945

Pemikir-pemikir hukum Indonesia pada waktu itu, lebih mengenal prinsip-prinsip hukum Eropa Kontinental yang menjunjung tinggi civil law, seperti di negeri Belanda. Meskipun demikian, ketika terjadi proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, masalah hak menguji oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter) menjadi bahan perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/ Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai).

Perdebatan ini muncul ketika pada tanggal 11 Juli 1945, M. Yamin melontarkan gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi, M. Yamin mengatakan, “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding udang-undang, mak Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adapt, syariah dan Undang-Undang Dasar”. Pada persidangan tanggal 15 Juli 1945, M. Yamin kembali menjelaskan gagasannya tentang fungsi Balai Agung/Mahkamah Agung. M. Yamin menyatakan bahwa: “Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar undang-undang dasar republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam…”.

Melihat usulan M. Yamin tersebut, bisa kita lihat, walaupun sebelumnya Belanda tidak mengajarkan suatu mekanisme yang di Amerika Serikat disebut dengan judicial review, ternyata ahli-ahli hukum republik juga sudah memikirkan adanya mekanisme tersebut dalam konstitusi yang akan disusun. Ini berarti gagasan tentang judicial review dan constitutional review sebenarnya sudah muncul sejak lama di Indonesia. Dari pendapat M. Yamin inilah kemudian muncul perdebatan, menanggapi usulan M. Yamin, Soepomo mencoba menolaknya. Soepomo mengemukakan dua alasan untuk menolak usulan M. Yamin. Pertama, bahwa persoalan hak menguji/ judicial review ialah terkait dengan paham demokrasi liberal dan pemberlakuan ajaran trias politica Montesquieu secara murni (separation of power) seperti di Amerika Serikat, sedangkan UUD 1945 tidak menganut kedua pandangan tersebut.

Dalam kesempatan tersebut Soepomo mengatakan: “…Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistem yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistem yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang. Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpre-tasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”.

Alasan kedua Soepomo mengatakan:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof (sesuatu pengadilan spesifik) yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu”.

Untuk alasan yang kedua ini, sebenarnya sifatnya kondisional, menurut pandangan Soepomo, bila nantinya sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka bisa saja hak menguji kemudian dimunculkan, dan menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan alasan yang pertama tadi, memang pada waktu Indonesia belum mengenal mekanisme checks and balances, jadi kedudukan ketiga cabang kekuasaan adalah sejajar dan tidak dapat saling mengawasi, karena Indonesia menganut sistem trias politica tidak murni. Akhhirnya, perdebatan kedua tokoh ini tidak diketahui kemana akhirnya, karena pada naskah persiapan UUD 1945 tidak ditemukan hasil kompromi kedua tokoh, bahkan di risalah sidang juga tidak mencantumkan kelanjutan perdebatan tersebut, bagaimana penerimaan dan penolakan dari peserta sidang yang lain. Terangnya, naskah UUD 1945 pertama, tidak pernah menyertakan adanya hak menguji yang dimiliki oleh hakim secara eksplisit di dalamnya. Namun demikian, walaupun hak menguji tidak secara eksplisit terdapat dalam konstitusi, menurut Kleintjes, seperti dikatakan Harun Alrasid, “hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakim, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban”.

Rabu, 27 Oktober 2010

Indikasi Geografis

Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi asal adalah suatu tanda yang memenuhi ketentuan tanda indikasi geografis yang tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.

Permohonan Indikasi geografis dapat diajukan oleh:

1. lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, terdiri atas:

a. pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;

b. produsen barang hasil pertanian;

c. pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau

d. pedagang yang menjual barang tersebut.

2. lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau

3. kelompok konsumen barang tersebut.

Sanksi Untuk Tindak Pidana Indikasi Geografis Dan Indikasi Asal

1. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (1) UUM).

2. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) bagi barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (2) UUM).

3. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) bagi barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau meyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut (Pasal 93 UUM).

Perdagangan Barang atau Jasa Hasil Pelanggaran

Pasal 94 ayat (1) UUM menyatakan:

“Barangsiapa yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92 dan Pasal 93, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Potensi Indikasi Geografis Indonesia

Oleh Saky SeptionoIndonesia merupakan Negara megadeversity dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Pendaftaran “Gayo Mountain Coffee” CTM No.001242965 sebagai merek dagang di Eropah (yang sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai merek) telah memicu pemilik merek yang juga eksportir kopi untuk melakukan persaingan curang, dengan melakukan pelarangan terhadap salah satu eksportir kopi Indonesia. Cv Arvis Sanada salah satu perusahaan eksportir kopi arabika asal Gayo Aceh dilarang mengeksport kopi ke daratan Eropa dengan menggunakan kata gayo dalam kemasannya, padahal biji kopi tersebut memang berasal dari Gayo Aceh.Demikian pula yang terjadi dengan kopi Toraja dimana Key Coffee Inc. Corporation dari Jepang mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Sehingga hal tersebut bisa berakibat sama sebagaimana hal yang terjadi di Eropa.Hal ini terjadi karena produk tersebut belum terdaftar dalam perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia dan tidak memiliki perlindungan hukum dinegara-negara tersebut, sehingga produk –produk tersebut perlu didaftarkan dalam perlindungan hukum indikasi geografis.Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap nama asal barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak diperbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu indikasi geografis dapat dipakai sebagai nilai tambah dalam komersialisasi produk.

Selasa, 26 Oktober 2010

Proses Penyelesaian Sengketa melalui Kekerasan (Use of Force) dalam UN Charter

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

1. Negosiasi (perundingan)

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

2. Enquiry (penyelidikan)

Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)

Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

4. Mediation (mediasi)

Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.

5. Consiliation (Konsiliasi)

Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.

6. Arbitration (arbitrasi)

Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.

7. Penyelesain sengketa menurut hukum

Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutanyang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

8. Badan-badan regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.

Penyelesaian sengketa internasional secara paksa

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :

a). Perang

Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.

d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e). Intervensi (Intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.

Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

Dalam bahasa hukum internasional Alex Martens, sebetulnya bicara tentang doktrin self-defense yang dapat digunakan untuk membela diri dan bila perlu melakukan serangan pamungkas (preemptive). Pasal 51 Piagam PBB mengatakan, States may use force in self-defense against an armed attack. Lengkapnya Pasal 51 Piagam PBB membolehkan tiap negara melancarkan pembelaan diri bila terjadi serangan bersenjata sampai Dewan Keamanan (DK) PBB mengambil semua tindakan nyata guna memulihkan keamanan dan perdamaian dunia

Senin, 25 Oktober 2010

Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional II

Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya Dalam Perspektif Hukum Internasional

Negara- negara di dunia seringkali menggunakan kekuatan bersenjata (perang) untuk menentang negara lain, namun adalah suatau kekeliruan apabila kenyataan ini dijadikan sebagai bukti dari kegagalan hukum internasional. Salah satu tugas hukum ketika dihadapkan kenyataan di atas adalah mengatur penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Pengaturan atas penggunaan kekuatan itu bisa dilakukan dalam 2 jalan, yakni:

1. Menetapkan suatu kewajiban pokok bagi negara- negara untuk tidak menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan sengketa mereka;

2. Memberi suatu prosedur dimana masyarakat internasional itu sendiri diizinkan untuk menggunakan.

Cara yang disebut pertama di atas diklasifikasikan ke dalam kelompok Hukum Menentang Perang atau dikenal dengan The Law Against War, sedang cara yang terakhir dikenal sebagai sebagai konsep penggunaan kekuatan unilateral atau aturan penggunaan kekuatan kolektif.

Konsep Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional

a. Penggunaan Kekuatan Unilateral

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan kekuatan bisa dibedakan atas penggunaan kekuatan unilateral dan penggunaan kekuatan kolektif. Penggunaan kekuatan unilateral terjadi bilamana penggunaan kekuatan tersebut dilakukan tanpa memperoleh kewenangan dari suatu organisasi internasional yang kompeten, seperti Dewan Keamanan PBB, oleh karena itu penggunaan kekuatan ini bisa saja diganti atau ditangguhkan oleh keamanan kolektif. Begitupun tindakan unilateral ini mungkin saja pada saat bersamaan mendapat kewenangan dari suatu organisasi yang berkompeten.

Sebagai contoh dari tindakan unilateral tersebut antara lain adalah invasi Vietnam terhadap Kamboja (1978- 1979). Penggunaan kekuatan yang memiliki kedua elemen di atas (unilateral dan kolektif) dapat dilihat dalam kasus invasi yang dilakukan oleh Irak terhadap Kuwait pada tahun 1990 yang menimbulkan respons dari masyarakat internasional.

Secara umu penggunaan kekuatan unilateral tidak dibenarkan oleh Piagam PBB. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) dan (4) dari Piagam PBB. Pasal 1 ayat (1) antara lain menyatakan bahwa: “To maintain international peace and security, and to that end : to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means..”.

Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa piagam PBB menhendaki penggunaan langkah-langkah bersama (kolektif) dalam mencegah dan menghapus berbagai ancaman terhadap perdamaian, menekan agresi-agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya dan untuk membawa tujuan-tujuan yang penuh perdamaian.

Sedang pasal 2 (3) mengatur bahwa : “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice are not endangered..”. secara lebih khusus pasal 2 (4) menegaskan bahwa : “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nation..”.

Begitu pun dari sisi lain piagam PBB tersebut sebenarnya secara tidak langsung juga mengakui bahwa penggunaan kekuatan bersenjata (perang) adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihapuskan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil untuk dihapuskan. Hal ini bisa diketahui dari preambule piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa : “.. armed force is not used except in the common interest or in self-defence..”.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka ada beberapa pengecualian yang dapat diberikan dalam larangan penggunaan kekuatan tersebut, yakni dalam hal-hal sebagai mana berikut:

1. Mempertahankan diri secara individual (individual self-defence)

Dasar hukum bagi tindakan unilateral dengan maksud mempertahankan diri secara individu adalah mengacu pada ketentuan pasal 51 piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa : “Nothing in the present charter shall impair the inherent rights of individual or collective set defence if an armed attack occurs against a member of the united nations, until the security council has taken measures necessary to maintain international peace and security..”. selain ketentuan di atas, hak untuk mempertahankan diri ini juga telah melekat dan diakui dalam kebiasaan internasional. Dalam prakteknya isu ini menemui beberapa kendala, diantaranya yang terlihat dalam kasus Falkland Island, yakni pulau di Inggris yang diinvasi oleh Argentina. Disini Inggris tentu memiliki hak untuk mempertahankan kepulauannya, namun DK PBB telah memanggil kedua negara untuk mencari solusi atas masalah pulau tersebut. Akibatnya penerapan hak mempertahankan diri yang dimiliki oleh Inggris sesuai dengan pasal 51 tersebut menjadi tertunda. Mrs Margareth Thatcher dan pemerintah Inggris tentu saja tidak menerima hal ini dan menyatakan bahwa pasal 51 tidak akan berlaku hanya bila DK PBB telah mengambil tindakan yang efektif, yaitu menghentikan agresi, sementara kenyataannya Resolusi No. 502 jelas-jelas tidak dijalankan.

2. Mempertahankan diri secara kolektif (collective self defence)

Sebagaimana halnya dengan konsep pertahanan diri individual seperti diatas, pertahanan diri kolektif juga mengacu pada ketentuan pasal 51 piagam PBB tersebut. Pertahanan kolektif ini disertai oleh beberapa syarat, antara lain hanya dilakukan atas suatu permohonan dari negara yang menjadi korban serangan bersenjata dan negara yang menjadi korban serangan tersebut harus menyatakan sendiri bahwa negaranya telah diserang.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :

a). Perang

Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.

d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e). Intervensi (Intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.

Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INTERASIONAL

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda

Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

1. Negosiasi (perundingan)

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:

1. Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;

3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;

4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:

1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;

2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.

2. Enquiry (penyelidikan)

Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)

Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

4. Mediation (mediasi)

Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.

5. Consiliation (Konsiliasi)

Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.

6. Arbitration (arbitrasi)

Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.

7. Penyelesain sengketa menurut hukum

Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutanyang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

8. Badan-badan regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.

9. Cara-cara damai lainnya

Dari 9 penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK

YANG DAMAI

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:

1. Prinsip itikad baik (good faith);

2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;

3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;

4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);

6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);

7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;

2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;

3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;

4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.'

Penyelesaian sengketa internasional secara paksa

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :

a). Perang

Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.

d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e). Intervensi (Intervention)

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.

Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

Cara-cara Pemecahan konflik

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :

1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.

2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.

5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

6. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.

2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.

5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.

Jumat, 22 Oktober 2010

alasan pengaturan khusus perseroan terbatas

Alasan mengapa pada perseroan terbatas memerlukan pengaturan khusus melalui UU No. 40 tahun 2007 sedangkan pada CV dan firma tidak adalah karena pada perseroan terbatas memerlukan pengaturan yang lebih khusus pada permasalahan yang lebih jelas dan sistematis, seperti mengenai tugas dan wewenang organ, prosedur penyelenggaraan RUPS, cara pemanggilan RUPS, persyaratan direksi dan komisaris. Selain itu pada perseroan terbatas memerlukan pengaturan lebih lanjut yang tidak terdapat pada KUHPerdata dan KUHD seperti mengenai definisi dari beberapa terminologi penting, penegasan bahwa PT adalah badan hukum, disebutkan bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian, pengaturan tentang penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, kewenangan ketua pengadilan negeri yang sangat luas terhadap kehidupan suatu PT, keberadaan perseroan terbuka, hak membela diri dari direksi dan komisaris, ketentuan bahwa perhitungan tahunan dibuat sesuai dengan standar akuntansi keuangan, untuk perseroan terbatas tertentu diwajibkan perhitungan tahunannya diperiksa oleh akuntan publik.

Selain itu, perseroan terbatas juga memerlukan pengaturan khusus mengenai hal-hal yang sering terjadi pada praktiknya seperti ketentuan tentang penerobosan pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham (piercing the corporate veil), ditegaskan bahwa direksi dan komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

Apakah PT terbuka dapat berubah menjadi PT tertutup? Bisa, pada pasal 21 UU No 40 tahun 2007 diatur mengenai tata cara perubahan PT terbuka menjadi PT tertutup.

Kamis, 21 Oktober 2010

GADAI TANAH ADAT SELALU DAPAT DITEBUS KASUS HARTA PUSAKA TINGGI MINANGKABAU

KASUS POSISI:

· Bahwa H. Tasfir Moch. Saleh, selaku Mamak Kepala Waris Kaumnya, pada tahun 1920 meminjamkan tanah “Harta Pusaka Tinggi” kepada kawan baiknya, bernama Malah dan Na’amin untuk rumah kediamannya.

· Bahwa hubungan pinjam meminjam ini kemudian dirubah menjadi “hubungan gadai tanah” dengan ketentuan bahwa tanah ini tidak akan ditebus dan boleh dipakai sepuas hati sampai anak-cucu piutnya. Perjanjian ini lalu dituangkan dalam “Surat gadai”.

· Bahwa Malah membangun di atas tanah ini sebuah rumah yang kemudian didiaminya bersama keluarga, anak-cucunya sampai k.l. 1980.

· Bahwa Malah yang telah menempati tanah tersebut selama puluhan tahun kemudian pada tahun 1984 mengajukan permohonan kepada Agraria untuk memperoleh sertipikat tanah tersebut atas namanya.

· H. Tasfir, Mamak Kepala Waris telah meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh Yusuf Dt. Bungsu sebagai Mamak Kepala Waris kaumnya.

· Bahwa Yusuf Dt. Bungsu selaku Mamak Kepala Waris kaumnya, menilai tanah yang dikuasai oleh Malah dan anak-anaknya itu merupakan “Tanah Pusaka Tinggi” kaum yang telah digadaikan oleh Mamak Kepala Waris yang lama, tanpa semufakat atau tanpa bermusyawarah dengan kaum, sehingga tindakannya itu dinilai merugikan Kaum.

· Mamak Kepala Waris yang baru, Yusuf Dt. Bungsu, berusaha untuk minta kembalinya Harta Pusaka Tinggi tersebut dari tangan Malah dan anak-anaknya secara musyawarah; akan tetapi tidak berhasil. Pada akhirnya Yusuf Dt. Bungsu mengajukan gugatan Terhadap Malah dan anaknya Yumarnis di Pengadilan Negeri Koto Baru Kabupaten Solok.

PETITUM:

Primair:

- Menyatakan Penggugat, Yusuf Dt. Bungsu, adalah Mamak Kepala Waris dalam Kaumnya Penggugat.

- Tanah terperkara adalah Tanah Pusaka Tinggi dalam Kaum Penggugat.

- Membatalkan perjanjian antara H. Tasfir M. Solih dengan Malah tentang tanah terperkara.

- Menghukum tergugat atau orang lain yang memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan tanah terperkara dalam keadaan kosong kepada Penggugat.

Subsidair:

- Bilamana hakim membenarkan adanya “gadai tanah”, maka tanah terperkara dikembalikan kepada Penggugat tanpa uang tebusan, atau mohon putusan lain yang adil.

AMAR PUTUSAN:

PENGADILAN NEGERI:

Putusan Perdata No. 32/Pdt.G/1984/PN. KBR.

Mengadili:

1. Mengabulkan gugatan Penuntut untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Penggugat I adalah mamak kepala waris dalam kaum Penggugat.

3. Menyatakan harta terperkara adalah, “harta pusaka tinggi” kaum Penggugat-penggugat.

4. Membatalkan segala perjanjian yang dibuat oleh mamak/angku penggugat nama harta terperkara dengan Malah dan Na’amin yang tidak setahu/semufakat kaum Penggugat/penggugat.

5. Menghukum Tergugat-tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat-penggugat dalam keadaan kosong dan membawa segala hak miliknya dan hak siapa saja yang mendapat hak daripadanya, sehingga Penggugat dapat dengan babas menguasainya dengan membayar uang tebusan sebesar f.35,-(tiga puluh lima rupiah Belanda).

6. Menghukum Tergugat-tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini yang besar Rp.40.600,- (empat puluh ribu enam ratus rupiah).

PENGADILAN TINGGI

Putusan Nomor: 190/G/B/K/1984 PT.PDG.

Mengadili:

Menerima permohonan banding dari para Tergugat/ Pembanding.

Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Koto Baru tanggal 11 September 1984 Perdata No. 32/Pdt.C./1984 KBR. Yang dimohonkan pemeriksaan dalam peradilan tingkat banding dengan amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Mengabulkan gugatan Penggugat/ Terbanding Yusuf Dt. Bungsu dan Kastolani Munaf untuk sebahagian.

Menyatakan Penggugat I/ Terbanding Yusuf Dt. Bungsu adalah mamak kepala waris dalam kaumnya.

Menyatakan bahwa harta sengketa adalah harta pusaka tinggi kaum para Penggugat/ Terbanding.

Menghukum para Penggugat/ Terbanding untuk membayar biaya-biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat pertama sebesar Rp. 40.600,- (empat puluh ribu enam ratus rupiah) dan dalam peradilan tingkat banding sebesar Rp. 29.000,- (dua puluh sembilan ribu rupiah).

Menyatakan gugatan para Penggugat/ Terbanding untuk selebihnya ditolak.

Memerintahkan untuk mengirimkan salinan resmi putusan ini beserta berkas perkaranya kepada Ketua Pengadilan Negeri Koto Baru di Koto Baru.

MAHKAMAH AGUNG RI

Putusan Reg. No. 2160 K/Pdt/1985

Mengadili:

Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. Yusuf Dt. Bungsu 2. Kastolani Munaf tersebut.

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat di Padang tanggal 19 November 1984 No. 190/G/B/K/1984 PT.PDG.

DAN DENGAN MANGADILI SENDIRI

Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian.

Menyatakan Penggugat I adalah mamak kepala waris dalam kaum adat Penggugat.

Menyatakan Harta terperkara adalah harta pusaka tinggi kaum para Penggugat.

Menyatakan gadai atas tanah terperkara telah berakhir.

Menghukum para Tergugat atau siapa saja yang mendapat hak daripada mereka untuk menyerahkan tanah terperkara kepada para Penggugat dalam keadaan kosong dan membawa segala hak miliknya, sehingga para Penggugat dapat dengan bebas menguasainya dengan membayar uang tebusan sebesar Rp. 210.000,- (dua ratus sepuluh ribu rupiah) kepada para Tergugat.

Menolak gugatan para Penggugat untuk selebihnya.

Menghukum para Termohon kasasi/ para Tergugat asal II/ V untuk membayar semua biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp. 40.600,- (empat puluh ribu enam ratus rupiah) dan tingkat banding sebesar Rp. 29.000,- (dua puluh sembilan ribu rupiah) dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah).

KOMENTAR:

PETITUM:

Menurut pendapat saya petitum yang dibuat oleh penggugat sangat tepat dan tidak melebar. Hal tersebut terlihat dari tidak dimasukannya tuntutan sejumlah uang seperti yang dilakukan para penggugat sekarang ini. Yang biasanya hanya masalah kecil namun menuntut sejumlah uang yang nominalnya justru lebih besar daripada tuntutan pokoknya. Pada kasus ini penuntut hanya meminta tanah adat yang terperkara dikembalikan kepada aset adat saja, tanpa ada “embel-embel” sejumlah uang sebagai ganti rugi atas perkara tersebut.

AMAR PUTUSAN:

Menurut saya amar putusan yang dikeluarkan oleh tiap tingkat pengadilan sudah adil dan mewakili rasa keadilan masyarakat. Karena hakim telah menggali hukum adat yang berlaku di masyarakat adat yang menjadi subjek gugatan, yang telah di perintahkan oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa di dalam masyarakat adat Minangkabau terdapat pepatah adat yang mengandung ketentuan adat berbunyi “Gadai batabuih – Suarang babagi” artinya gadai itu selalu dapat ditebus dan Harta suarang dibagi. Bahwa dengan berpegang pada ketentuan adat tersebut, maka dalam hubungan gadai tanah, meskipun mempunyai sifat mutlak, selalu gadai itu dapat ditebus. Sehingga setiap perjanjian jual-gadai yang menyimpang dari azas hukum adat ini, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sehingga hakim di tiap tingkat pengadilan memutuskan tanah terperkara menjadi tanah pusaka tinggi para penggugat.

Kasus Paquete Habana

Fakta Hukum

Paquete Habana adalah sekoci,panjang 43 kaki, dan berat 25 ton dan memiliki tiga awak orang Kuba, termasuk termasuk pemimpinnya yang telah mempunyai izin penangkapan ikan dari pemerintah Spanyol. Dia meninggalkan Havana 25 Maret 1898; berlayar di sepanjang pantai Cape Kuba ke San Antonio, dan emnangkap ikan sepanjang 25 hari di wilayah perairan Spanyol , dan kemudian kembali ke Havana, dengan muatan sekitar 40 quintals ikan yang hidup.. Pada tanggal 25 April 1898, sekitar 2 miles dari Mariel, dan 11 mil dari Havana, ia diambil dengan kapal perang Amerika Castine

Lola –kapal yang lain- dengan panjang 51 kaki, dan berat 35ton, dan memiliki awak enam orang Kuba, termasuk pemimpinnya yang tidak mamiliki izizn atau lisensi lainnya.. Dia meninggalkan Havana 11 April 1898, dan dilanjutkan ke Campeachy ,dan berakhir di Yucatan. Kemudian kembali ke Havana dengan muatan sekitar £ 10.000 dari ikan hidup. Pada tanggal 26 April 1898, dekat Havana, dia dihentikan oleh Amerika Serikat Cincinnati dan peringatan untuk tidak pergi ke Havana, namun mereka akan diizinkan untuk tanah di Bahia Honda. Kemudian mereka berubah haluan ke Bahia Honda, namun pada pagi harinya, ketika di dekat pelabuhan mereka diambil oleh kapal Amerika Dolphin

Masalah Hukum

Kebiasaan Internasional

Putusan hakim

Ini adalah kasus di Amerika Serikat untuk distrik selatan Florida memutuskan dua kapal nelayan dan cargoes sebagai hadiah perang.

Kedua Kapal tersebut disita dan dilelang.

Alasan

Setiap kapal nelayan yang telah terdampar dan berlayar di luar Havana, dan secara berkala terlibat dalam penangkapan ikan di pantai Kuba; berlayar di bawah bendera Spanyol; telah dimiliki oleh seorang Spanyol yang lahir di Kuba, tinggal di kota Havana; telah memerintahkan oleh subjek dari Spanyol, juga berada di Havana, dan tuan dan awak pesawat tidak memiliki kepentingan dalam kapal tersebut, namun untuk berbagi, demua kapal dan hasil tangkapannya adalah milik dia. Kargonya terdiri dari ikan segar. Ketika dihentikan oleh blokade dia tidak mengetahui adanya perang atau apapun. Dia tidak memiliki senjata atau amunisi di atas kapal, dan tidak melakukan perlawanan ketika ditangkap.

Setiap kapal Sepanyol dapat ditangkap oleh Amerika sebagai tawanan perang selama Amerika dan sepanyol berperang.