Sabtu, 10 Maret 2012

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

MAKNA KATA TOLERANSI
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Toleransi antarumat beragama atau toleransi antarmazhab umat seagama hingga kini masih diselimuti persoalan. Klaim kebenaran suatu agama atau suatu mazhab mendorong penganutnya untuk memaksakan kebenaran itu terhadap kelompok lain. Lebih tragis lagi ketika penyebaran kebenaran itu disertai aksi kekerasan yang merugikan korban harta benda dan jiwa. Fenomena kekerasan antar pemeluk agama hampir terjadi di seluruh belahan dunia. 
SOAL PARADIGMA
Dalam paradigma lama, kompetisi misi agama dilakukan untuk menguasai pasar sendiri dan orang lain secara tidak sehat dan sering melanggar etika sosial bersama. Sementara dalam paradigma baru kompetisi harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Di tengah perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk dituntut berkompetisi menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat). Dalam paradigma baru orientasinya adalah pengembangan internal umat (intensity of the quality of both devotion to God and righteous living) dan konversi dalam komunitas serta tradisi sendiri (conversion within one’s own community and tradition). Dalam paradigma baru ini, selama seseorang merasakan dia adalah obyek kepentingan terselubung (vested interest) hanya demi alasan-alasan politis atau tujuan-tujuan konversi, maka tidak akan ada kontak alami manusiawi (human natural contact), yang merupakan prasyarat penting pertemuan antaragama. 
      Kalau dalam paradigma lama, misi seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan dan membangkitkan jihad perang antarpemeluk agama, maka dalam paradigma baru kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah basyariah). Ajakan agama-agama harus lebih mengacu kepada keyakinan yang fitrah dan sejati, tidak semu dan penuh kemunafikan. Ini juga seharusnya membawa kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas agama, seperti ekonomi, lingkungan, moral, HAM, dan sebagainya. 
Imbauan agama-agama sebaiknya mengacu pada platform bersama (common platform, kalimatun sawa), bukan pada perbedaan-perbedaan. Bahkan sejalan dengan paradigma baru ini, kini sedang dikembangkan theology of religions, yaitu teologi yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama. Begitu pula sedang dikembangkan teologi pluralis dan teologi transformatif, selain teologi eksklusif dan inklusif yang sudah dipegang mayoritas umat beragama. 
Jika dalam paradigma lama, agama-agama lebih menekankan aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin agama, maka dalam paradigma baru, prioritas program keagamaan adalah pemberdayaan keyakinan, sikap dan perilaku keagamaan yang lebih substantif. Ritualitas keagamaan dimaknai secara substantif sehingga sikap keagamaan lebih rasional dan membawa kemanfaatan yang lebih praktis dan konkret. 
PERAN TOKOH
Seluruh tokoh dan umat semua agama seharusnya selalu mengajak untuk berkomunikasi, berinteraksi, berdialog, dan bekerjasama dalam tugas-tugas kemanusiaan yang lebih kompleks dan menuntut kerja semua manusia, tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan.Tidak ada lagi hasutan dan tuduhan yang diarahkan antarsesama makhluk Tuhan yang mencintai kebaikan dan kebenaran. Kita semua harus menunjukkan keterbukaan pandangan (openness of mind) dan keinginan untuk belajar (eagerness to learn), dan lebih memperhatikan isu-isu yang tepat. Tidak sepatutnya kita menunjukkan kesombongan religius, intoleransi, dan kemutlakan dogmatik, sementara agama-agama itu sendiri mengajarkan kebalikannya. 
Kita pun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar-umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar-iman di tengah pluralitas agama? Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasanya pluralitas agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralitas agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. 
Untuk itu, agenda awal kita adalah bagaimana memecahkan “hambatan teologis” di kalangan umat beragama dalam menerima puralitas sebagai hukum Tuhan. Problem kita adalah kenyataan semakin mengerasnya masyarakat ke arah eksklusivisme, komunalisme, dan bahkan semangat antipluralisme. Padahal, intelektual di panggung atas sedang ramai-ramainya mengusung wacana toleransi, inklusivisme, dan bahkan pluralisme. Jadi, terjadi keterputusan wacana secara kontradiktif, yang jika tidak kita jembatani, akan semakin kencang mengeras terjadinya “jurang wacana” antara intelektual di atas dengan masyarakatnya di level akar rumput. 
Selama ini, wacana toleransi, inklusivisme dan pluralisme memang sangat elitis. Ia “tercipta” dan “bergerak” hanya pada level elit intelektual kita, tanpa mengakar ke masyarakat bawah. Proses penciptaan, pematangan, dan penyebaran wacana pun, lebih banyak bergerak di sekitar lingkaran elit intelektual semata. Karena itu, mempropagandakan wacana itu hanya sebatas komunitas elit intelektual saja, tidak saja mengakibatkan wacana itu terlalu “elitis”, tetapi juga menjadikan wacana itu mengalami disconnected dengan “problem keumatan”. Basis pluralisme yang diajukan Al-Quran jelas berorientasi pada praksis liberatif, yang langsung berorientasi untuk membebaskan yang tertindas.
KESIMPULAN
      Konflik antar umat beragama di Indonesia sangat potensial menjadi pemecah bangsa. Untuk itulah di negeri yang majemuk ini, penting memperbaharui terus-menerus ihwal toleransi beragama. Tujuannya, agar umat beragama bisa duduk bersanding dengan damai, tanpa curiga. Dengan catatan, masing-masing umat demi toleransi tidak kehilangan identitas agamanya. 
Kekerasan antarumat beragama, telah menjadi semacam "religiositas baru" yang menghalalkan segala cara (kekerasan demi kebenaran). Menguatnya iman destruktif yang dijalankan pemeluk agama dan atas nama agama, menjadi "legitimasi Tuhan", khususnya dalam perkembangan eksklusivisme agamanya yang meruyak belakangan ini. Kita tidak dapat memungkiri, ditengah kampanye inklusivisme agama yang jauh dari fobia akan iman yang berbeda, sebaliknya "lintas iman", eksklusivisme justru menguat secara tak terkendali.