Selasa, 18 Juni 2013

BBM Naik? Harus bagaimana?

Perubahan apa diseputar cara kita memandang BBM? Kita samakan dulu dasarnya agar jangan diputar- putar otak kepentingan dan otak politik.  


BBM itu barang impor, lebih dari 50 pct sudah impor, dibeli dengan USD yang sebagian dibayar oleh hutang. Cadangan migas yang bisa diolah dari bumi kita semakin hari semakin turun. Untuk meningkatkannya, negara harus investasi baru, yang ternyata katanya uangnya tidak ada, bahkan pengetahuan tidak dikembangkan. Punya cadangan minyak tanpa teknologi itu omong kosong bisa dapatkan minyak. Sudah terlalu lama Indonesia tidak investasi dalam teknologi baru. Untuk datangkan asing yang punya teknologi kita berantem terus. Seperti biasa politik mengacaukan pengambilan keputusan. Indonesia sudah lama keluar dari keanggotaan OPEC karena sudah tidak menjadi negeri eksportir lagi. Sementara di Venezuela, Qatar, Saudi, Rusia, dll. cadangan migas sangat besar, sehingga efisien untuk dikelola, terletak disatu lokasi yang mudah. lokasi temuan- temuan migas Indonesia saat ini kecil- kecil, berjauhan, dan kita tinggal di negeri kepulauan yang mahal transportasinya.



Kedepan, siapapun presidennya, kita masih bakal ribut besar. Masih ada potensi besar keributan karena :


  1. Harga BBM akan naik terus, sejalan dengan penurunan cadangan dunia dan meningkatnya populasi dunia. 
  2. Kita semua masih berpikir kita adalah negeri yang kaya minyak, padahal kenyataannya tidak.
  3. Amerika Serikat sudah menemukan teknologi baru dalam bahan bakar: Shale-Gas yang harganya sangat murah, sementara cost lama yang kita pakai sudah mahal disini.
  4. Pemberantasan korupsi selalu dilawan oleh para politisi, dan sebagian besar terlibat dalam bagi-bagi
  5. Cara berpikir kita subsidi yang dikurangilah sumber kenaikan harga- harga pangan, padahal penanganan yang kelirulah yang menyebabkan kenaikan harga pangan. yang menangani pertanian siapa? tau lah orangnya 



subsidi yang dipicu hutang justru akan membuat harga- harga pangan mahal. Dimana logikanya? logikanya simpel saja, cadangan devisa terkuras, kurs jebol, maka orang Indonesia akan membayar tepung, beras dll dengan rupiah yang lebih mahal.



Maka pesan saya: jangan bertengkar, perbaiki segera, dorong pemberantasan korupsi, beralih ke energy alternatif, dan harus ada disinsentif untuk menghamburkan fossil fuel, yaitu harga harus mahal, biar kita tidak mabuk minyak. Kalau anda cinta lingkungan maka anda harus realistis, BBM murah memicu efek gas rumah kaca dst.



oh iya, saya bingung mejawab tentang ketakutan kenaikan harga- harga kalau BBM naik. Masalahnya sebelum BBM naik harga- harga sudah naik bukan? Daging dan bawang misalnya. Dan kemarin- kemarin kok anteng saja?



catatan: menteri yang ngurusin pertanian (juga didalamnya termasuk peternakan) dari partai yang katanya menolak kenaikan harga BBM loh 



sumber : twitter Rhenald Kasali

Minggu, 19 Mei 2013

Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Impunitas yang tersembunyi


Impunitas atas pelanggaran hak-hak enonomi, sosial dan budaya merupakan salah satu masalah yang hingga saat ini sulit dipecahkan. Bila disbanding dengan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik yang telah memiliki mekanisme yang memadai baik di tingkat nasional maupun internasional, maka pelanggaran-pelanggaran massif di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sangat jauh dari jamahan negara.

Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Rezim Hukum Hak Asasi Manusia
Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional. Bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights.
Pengikatan terhadap hak ekosob itu diwujudkan dengan mempositivikasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on Economics, Social and Cultural Rights-CESCR) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1966 bersama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Karena ia telah diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap, perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi.
Pembahasan dari sudut legal ini menunjukan betapa kuatnya kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik. Tetapi persepsi yang berkembang mengenainya menunjukan realita yang lain, yakni memosisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hak-hak sipil dan politik.

Kewajiban Negara dalam Konteks Memajukan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Berdasarkan kajian-kajian mutakhir hak-hak ekosob, para pakar mulai menyadari bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ternyata tidak melulu merupakan hak-hak positif. Ditemukan cukup banyak hak yang diakui di dalamnya menuntut bukan saja negara tidak mengambil tindakan tertentu untuk melidungi hak. Jadi bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan.
Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut berhasil (obligation of result). Akan tetapi, dalam waktu yang bersamaan, negara tidak diperbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan keliru jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada (obligation of result).
Prinsip-prinsip Maastricht – yang dirumuskan oleh ahli-ahli hukum internasional tentang tanggung jawab negara berdasarkan CESCR – dengan gambling juga menolak pemisahan tanggung jawab negara ke dalam apa yang disebut sebagai obligation of conduct di satu sisi dan obligation of result di sisi yang lain.
Maka, menjadi jelas kiranya bahwa sebetulnya tidak terdapat perbedaan tanggung jawab dalam pemenuhan antara hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik. Dengan demikian, anggapan selama ini yang menyatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu bersifat non-justiciable jelas menyesatkan.

Menguak Impunitas terhadap Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Tanggung jawab negara dalam memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk obligation of result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. Dalam konteks tanggung jawab yang demikian ini, kebijakan-kebijakan negara dalam memajukan hak-hak ekosob harus dapat menunjukan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut.
Dengan demikian, kebijakan negara dalam konteks pemenuhan hak-hak ekosob tidak terkait langsung dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara, apakah pro-pasar atau sistem komando.
Prinsip-prinsip Limburg memberikan kepada kita pedoman umum tentang bagaimana persisinya kewajiban tersebut dilanggar oleh suatu negara, yakni:
  • Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya
  • Negara gagal menghilangkan rintangan secara cepat dimana negara tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya
  • Negara gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang diwajibkan pemenuhannya dengan segera
  • Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional
  • Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui dalam kovenan
  • Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak
  • Negara gagal mengajukan laporan yang diwajibkan oleh kovenan