Impunitas atas
pelanggaran hak-hak enonomi, sosial dan budaya merupakan salah satu masalah
yang hingga saat ini sulit dipecahkan. Bila disbanding dengan
pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik yang telah memiliki
mekanisme yang memadai baik di tingkat nasional maupun internasional, maka
pelanggaran-pelanggaran massif di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
sangat jauh dari jamahan negara.
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam
Rezim Hukum Hak Asasi Manusia
Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan
bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional. Bersama-sama
dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights.
Pengikatan terhadap hak ekosob itu diwujudkan dengan mempositivikasikan
hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (Covenant on Economics, Social
and Cultural Rights-CESCR) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1966
bersama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Karena ia telah diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli
hukum hak asasi manusia internasional menganggap, perjanjian dengan karakter
yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan
internasional, ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi.
Pembahasan dari sudut legal ini menunjukan betapa kuatnya kedudukan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan
politik. Tetapi persepsi yang berkembang mengenainya menunjukan realita yang
lain, yakni memosisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hak-hak
sipil dan politik.
Kewajiban Negara dalam Konteks Memajukan
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Berdasarkan kajian-kajian mutakhir hak-hak ekosob, para pakar mulai
menyadari bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ternyata tidak melulu
merupakan hak-hak positif. Ditemukan cukup banyak hak yang diakui di dalamnya
menuntut bukan saja negara tidak mengambil tindakan tertentu untuk melidungi
hak. Jadi bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan.
Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah
dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut berhasil (obligation of result). Akan tetapi,
dalam waktu yang bersamaan, negara tidak diperbolehkan mengambil tindakan yang
menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas
mengapa dikatakan keliru jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada (obligation of result).
Prinsip-prinsip Maastricht –
yang dirumuskan oleh ahli-ahli hukum internasional tentang tanggung jawab
negara berdasarkan CESCR – dengan gambling juga menolak pemisahan tanggung
jawab negara ke dalam apa yang disebut sebagai obligation of conduct di satu sisi dan obligation of result di sisi yang lain.
Maka, menjadi jelas kiranya bahwa sebetulnya tidak terdapat perbedaan
tanggung jawab dalam pemenuhan antara hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan
hak-hak sipil dan politik. Dengan demikian, anggapan selama ini yang menyatakan
bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu bersifat non-justiciable jelas menyesatkan.
Menguak Impunitas terhadap Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Tanggung jawab negara dalam memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
tidak hanya dalam bentuk obligation of
result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation
of conduct. Dalam konteks tanggung jawab yang demikian ini,
kebijakan-kebijakan negara dalam memajukan hak-hak ekosob harus dapat
menunjukan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut.
Dengan demikian, kebijakan negara dalam konteks pemenuhan hak-hak ekosob
tidak terkait langsung dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan oleh suatu
negara, apakah pro-pasar atau sistem komando.
Prinsip-prinsip Limburg
memberikan kepada kita pedoman umum tentang bagaimana persisinya kewajiban
tersebut dilanggar oleh suatu negara, yakni:
- Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya
- Negara gagal menghilangkan rintangan secara cepat dimana negara tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya
- Negara gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang diwajibkan pemenuhannya dengan segera
- Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional
- Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui dalam kovenan
- Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak
- Negara gagal mengajukan laporan yang diwajibkan oleh kovenan