Senin, 25 Oktober 2010

Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional II

Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya Dalam Perspektif Hukum Internasional

Negara- negara di dunia seringkali menggunakan kekuatan bersenjata (perang) untuk menentang negara lain, namun adalah suatau kekeliruan apabila kenyataan ini dijadikan sebagai bukti dari kegagalan hukum internasional. Salah satu tugas hukum ketika dihadapkan kenyataan di atas adalah mengatur penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Pengaturan atas penggunaan kekuatan itu bisa dilakukan dalam 2 jalan, yakni:

1. Menetapkan suatu kewajiban pokok bagi negara- negara untuk tidak menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan sengketa mereka;

2. Memberi suatu prosedur dimana masyarakat internasional itu sendiri diizinkan untuk menggunakan.

Cara yang disebut pertama di atas diklasifikasikan ke dalam kelompok Hukum Menentang Perang atau dikenal dengan The Law Against War, sedang cara yang terakhir dikenal sebagai sebagai konsep penggunaan kekuatan unilateral atau aturan penggunaan kekuatan kolektif.

Konsep Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional

a. Penggunaan Kekuatan Unilateral

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan kekuatan bisa dibedakan atas penggunaan kekuatan unilateral dan penggunaan kekuatan kolektif. Penggunaan kekuatan unilateral terjadi bilamana penggunaan kekuatan tersebut dilakukan tanpa memperoleh kewenangan dari suatu organisasi internasional yang kompeten, seperti Dewan Keamanan PBB, oleh karena itu penggunaan kekuatan ini bisa saja diganti atau ditangguhkan oleh keamanan kolektif. Begitupun tindakan unilateral ini mungkin saja pada saat bersamaan mendapat kewenangan dari suatu organisasi yang berkompeten.

Sebagai contoh dari tindakan unilateral tersebut antara lain adalah invasi Vietnam terhadap Kamboja (1978- 1979). Penggunaan kekuatan yang memiliki kedua elemen di atas (unilateral dan kolektif) dapat dilihat dalam kasus invasi yang dilakukan oleh Irak terhadap Kuwait pada tahun 1990 yang menimbulkan respons dari masyarakat internasional.

Secara umu penggunaan kekuatan unilateral tidak dibenarkan oleh Piagam PBB. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) dan (4) dari Piagam PBB. Pasal 1 ayat (1) antara lain menyatakan bahwa: “To maintain international peace and security, and to that end : to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means..”.

Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa piagam PBB menhendaki penggunaan langkah-langkah bersama (kolektif) dalam mencegah dan menghapus berbagai ancaman terhadap perdamaian, menekan agresi-agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya dan untuk membawa tujuan-tujuan yang penuh perdamaian.

Sedang pasal 2 (3) mengatur bahwa : “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice are not endangered..”. secara lebih khusus pasal 2 (4) menegaskan bahwa : “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nation..”.

Begitu pun dari sisi lain piagam PBB tersebut sebenarnya secara tidak langsung juga mengakui bahwa penggunaan kekuatan bersenjata (perang) adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihapuskan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil untuk dihapuskan. Hal ini bisa diketahui dari preambule piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa : “.. armed force is not used except in the common interest or in self-defence..”.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka ada beberapa pengecualian yang dapat diberikan dalam larangan penggunaan kekuatan tersebut, yakni dalam hal-hal sebagai mana berikut:

1. Mempertahankan diri secara individual (individual self-defence)

Dasar hukum bagi tindakan unilateral dengan maksud mempertahankan diri secara individu adalah mengacu pada ketentuan pasal 51 piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa : “Nothing in the present charter shall impair the inherent rights of individual or collective set defence if an armed attack occurs against a member of the united nations, until the security council has taken measures necessary to maintain international peace and security..”. selain ketentuan di atas, hak untuk mempertahankan diri ini juga telah melekat dan diakui dalam kebiasaan internasional. Dalam prakteknya isu ini menemui beberapa kendala, diantaranya yang terlihat dalam kasus Falkland Island, yakni pulau di Inggris yang diinvasi oleh Argentina. Disini Inggris tentu memiliki hak untuk mempertahankan kepulauannya, namun DK PBB telah memanggil kedua negara untuk mencari solusi atas masalah pulau tersebut. Akibatnya penerapan hak mempertahankan diri yang dimiliki oleh Inggris sesuai dengan pasal 51 tersebut menjadi tertunda. Mrs Margareth Thatcher dan pemerintah Inggris tentu saja tidak menerima hal ini dan menyatakan bahwa pasal 51 tidak akan berlaku hanya bila DK PBB telah mengambil tindakan yang efektif, yaitu menghentikan agresi, sementara kenyataannya Resolusi No. 502 jelas-jelas tidak dijalankan.

2. Mempertahankan diri secara kolektif (collective self defence)

Sebagaimana halnya dengan konsep pertahanan diri individual seperti diatas, pertahanan diri kolektif juga mengacu pada ketentuan pasal 51 piagam PBB tersebut. Pertahanan kolektif ini disertai oleh beberapa syarat, antara lain hanya dilakukan atas suatu permohonan dari negara yang menjadi korban serangan bersenjata dan negara yang menjadi korban serangan tersebut harus menyatakan sendiri bahwa negaranya telah diserang.

Tidak ada komentar: