Senin, 18 Oktober 2010

PAJAK DAN PEMBANGUNAN

Pajak dan Pembangunan. Kita patut memberikan apresiasi terhadap hal ini. Pasalnya, kinerja mereka sangat menentukan besar kecilnya realisasi pajak yang merupakan salah satu tulang punggung negara dalam menyelenggarakan pembangunan di Tanah Air.

Untuk itu, sangatlah penting, arif dan bijaksana, jika sosialisasi tentang pembayaran pajak dilakukan jauh-jauh hari. Dengan begitu, masyarakat juga tahu dan sadar akan tugas dan kewajibannya membayar pajak tepat waktu.

Memang, untuk hal yang satu ini dibutuhkan pengorbanan. Tapi komitmen dan pengabdian juga amat penting. Karena itu, tidak berlebihan bila kita meminta aparatur yang bekerja di bidang pelayanan pajak, untuk memperhatikan hal ini.

Artinya, sosialisasi perpajakan harus dijadwalkan sebaik mungkin sehingga pelaksanaannya menjangkau masyarakat yang berada di desa-desa. Cara ini penting, selain untuk meningkatkan perolehan pajak, juga menambah jumlah wajib pajak. Untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah tersebut tentu diperlukan dana tidak sedikit. Suatu daerah yang tidak memiliki dana yang cukup/ memadai tentu memerlukan tambahan dari pihak lain, agar program pembangunan yang telah direncanakan tersebut dapat terlaksana. Pihak lain yang dimaksud tersebut adalah lembaga perbankan, pemerintah pusat, atau pihak asing yang peduli dengan program pembangunan suatu daerah, dan tentu saja masyarakat di suatu daerah itu sendiri.

Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Jadi disini peranan pajak adalah untuk mengoptimalkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan nantinya akan digunakan untuk pembangunan Daerah.

Walaupun telah 11 tahun diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan pendukung lainnya, berbagai macam respon timbul dari daerah-daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya secara signifikan. Namun, kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap memberikan batasan criteria pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah.

Beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :

1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.

2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).

3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.

5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).

6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.

7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.

Kemudian dengan lahirnya kebijakan Otonomi Daerah dengan desentralisasi otoritas dan desentralisasi fiskal yang diatur dengan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dijelaskan bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari :

Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu:

Hasil pajak Daerah.

Hasil retribusi Daerah

Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil penge-lolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.

Dana Perimbangan, yaitu: Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.
Dana Alokasi Umum (DAU).

Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pinjaman Daerah.

Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

Jadi dari ketentuan di atas jelas bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak dan retribusi Daerah serta hasil usaha Daerah sendiri. Sedangkan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000 terdiri dari:


Pajak Hotel.

Pajak Restoran.

Pajak Hiburan.

Pajak Reklame.

Pajak Penerangan Jalan.

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

Pajak Parkir.

Dengan pendapatan asli daerah tersebut, pemerintah memasukan pajak kedalam anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagai pemasukan yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan suprastruktur. Peranan pajak dinilai sangat vital dalam pembiayaan kegiatan negara maupun daerah. Karena pemasukan negara yang terbesar diambil dari sektor pajak. Hal tersebut yang menjadikan pajak sangat rentan akan adanya penyelewengan karena berhubungan langsung dengan uang dan masyarakat. Kasus Gayus Tambunan hanyalah sedikit kasus yang terungkap dan menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Karena rentan akan penyelewengan itulah adanya hukum pajak yang mengatur segala hal mengenai pelaksanaan pengambilan pajak serta pengawasannya.

Kasus-kasus penyelewengan pajak dirasakan akan mengganggu kepercayaan masayrakat akan lembaga perpajakan di Indonesia. dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak. Hal tersebut timbul pada kasus Gayus Tambunan karena banyak orang yang melakukan boikot pembayaran pajak . hal tersebut jelas akan mengganggu pemasukan bagi APBD dan juga APBN. Bila anggaran pengeluaran dan belanja baik negara ataupun daerah terganggu, maka pembangunan yang akan dilakukan akan ikut terganggu. Hal ini sejalan dengan ajaran fungsi-fungsi pajak dalam teori. Yakni fungsi budgetair, yaitu pajak berfungsi sebagai pemasukan negara kemudian digunakan kembali untuk melakukan pembangunan-pembangunan yang sesuai dalam anggaran dasar negara atau daerah.

Tidak ada komentar: