Selasa, 09 November 2010

ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION

Klausul penyelesaian sengketa yang biasanya terdapat pada bagian akhir dari sebuah kontrak mulanya tidak terlalu diperhatikan oleh kalangan bisnis khususnya di Indonesia. Artinya, mereka kurang concern terhadap berbagai bentuk dispute resolution yang tersedia. Salah satu sebabnya mungkin karena ketidaktahuan pengusaha tentang berbagai bentuk dispute resolution yang ada dan perkembangannya, atau mungkin karena situasi hukum nasional pada saat itu yang mematikan kreativitas pengusaha, penasihat hukum, dan aparat penegak hukum dalam mencari terobosan-terobosan hukum yang baru guna menyelesaikan konflik dagang yang terjadi.

Pengusaha juga cenderung menganggap remeh pencantuman klausul ini dalam kontrak bisnisnya. Klausul arbitrase tidak disusun secara baik katakatanya sehingga timbul berbagai kesulitan praktis yang justru membuat proses perkara semakin lama, butuh biaya besar bahkan akhirnya akan menemui jalan buntu. Ironisnya, hal ini juga pernah dilakukan oleh lembaga pemerintah yang seharusnya memberi klausul standar yang tepat kepada perusahaan-perusahaan swasta atau BUMN yang terkait dengan kegiatannya.

Mengacu kepada pengertian di dalam UU Arbitrase, yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dari definisi yang diberikan oleh undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa banyaknya cara untuk menyelesaikan sengketa bisnis dapat dibagi menjadi lima kelompok besar, yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

Adapun yang dimaksud dengan masing-masing bagian tersebut adalah:
1. Konsultasi, karena di dalam penjelasan pasalnya dikatakan “cukup jelas”, maka konsultasi berarti pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan, nasihat, atau saran yang sebaik-baiknya. Biasanya yang terjadi dalam praktek, konsultasi yang dilakukan para pihak akan melibatkan manajer senior yang mempunyai decision making authority tanpa terlibat langsung dalam proyek atau obyek sengketa. Forum konsultasi ini lebih mirip sebuah preliminary meeting sebelum sengketa itu benar-benar menjadi semakin tajam.
2. Negosiasi, proses ini mempunyai beberapa ciri yaitu; tidak terstruktur dan tidak sistematis. Artinya jadwalnya tidak tetap, tempat pertemuan bisa diadakan dimana saja dan kapan saja misalnya saat dinner, main golf, atau saat santai lainnya. Langsung dilakukan oleh para pihak yang berperkara, walaupun kadang-kadang juga didampingi oleh para pengacara terutama jika nuansa hukum persoalannya cukup rumit. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dilakukan oleh para pihak yang menjadikan masukan dari pihak ketiga hanya sebagai acuan, sifatnya informal dan umumnya tidak dibatasi oleh waktu tertentu, dan secara yuridis hasil negosiasi ini tidak mengikat kecuali jika dimintakan penetapan ke pengadilan sebagai sebuah akta perdamaian. Hasil riset membuktikan bahwa 80 persen dari sengketa-sengketa dagang atau bisnis internasional berhasil diselesaikan dengan cara konsultasi dan negosiasi.
3. Mediasi, prosesnya dilakukan secara terstruktur dan sistematis dalam artian ada jadwal dengan agenda pembicaraan tertentu, langsung dilakukan oleh para pihak dan penyelesaian sepenuhnya dikontrol oleh mereka walaupun dapat disertai legal opinion dari pengacaranya masing-masing, sifatnya semi informal dan adanya batas waktu tertentu yang telah disepakati oleh para pihak, dan ciri utamanya adalah adanya mediator yang berperan memberikan fasilitas dan mengarahkan para pihak untuk menemukan solusi sengketa yang mereka hadapi. Yang patut dicermati dalam proses ini adalah the mediator’s functions very depending on the personalities and wishes of the disputants, the nature of the issues, and the personality and skills of the mediator. Di Indonesia lembaga mediasi ini biasanya dimasukkan dalam kontrak dengan judul ‘klausul musyawarah untuk mufakat’ hanya perbedaannya dengan mediasi di luar negeri (misalnya di Amerika atau Australia) ialah bahwa perdamaian dapat dicapai tanpa ikut campurnya pihak ketiga yang netral. Salah satu contoh klausul mediasi yang dibuat oleh Australian Commercial Disputes Center Limited adalah “any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract or the breach, termination or invalidity thereof shall be the subject of mediation administered by the Australia Commercial Disputes Center Limited”. Prosesnya juga terkadang lebih cepat dari proses arbitrase karena perdamaian dapat dicapai dalam satu atau beberapa hari saja. Sama halnya dengan negosiasi, hasil mediasi dapat dimintakan penetapan ke pengadilan agar mengikat dan dapat dipaksakan kepada para pihak yang menandatangani mediasi tersebut.
4. Konsiliasi, usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Atau dengan kata lain proses ini hampir serupa dengan proses mediasi pada nomor sebelumnya, dengan ciri utama yaitu adanya intervensi pihak ketiga yang antara lain berguna untuk memperbaiki komunikasi, menafsirkan pokok sengketa hingga menggiring para pihak untuk melakukan amicable settlement atau penyelesaian sengketa bisnis yang dilakukan dengan ramah tamah.
5. Penilaian ahli, para pihak membawa persoalan yang telah mereka hadapi ke orang yang dianggap mumpuni dalam bidangnya untuk dimintakan penilaian dalam masalah tersebut. Pada saat seperti inilah, maka arbitrase tergolong sebagai salah satu metode ADR. Karena dengan membawa masalah ke arbitrase institusional atau arbitrase ad hoc, maka orang-orang yang akan menjadi arbiter tersebut haruslah orang yang memang ahli di bidang obyek sengketa tersebut. Proses arbitrase diadakan secara terstruktur dan sistematis bahkan sebelum arbitrase diadakan, dilakukan pemeriksaan terhadap kontrak apakah benar para pihak telah menuliskan akan menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase (pactum de compromittendo). Kalau tidak termuat dalam kontrak, maka para pihak harus membuat perjanjian (baru) yang isinya menyatakan bahwa mereka memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang sekarang mereka hadapi (acta compromis). Jika mereka memilih arbitrase institusional misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID), maka lembaga tersebut telah mempunyai aturan sendiri dalam menangani setiap sengketa yang diajukan kepada mereka. Dalam proses arbitrase ini dibedakan antara pilihan hukum materialnya dan prosedur arbitrasenya. Misalnya, para pihak menyatakan choice of law-nya adalah hukum Indonesia, sedangkan prosedur arbitrasenya menurut ICC dari Paris. Artinya, prosedur arbitrasenya bisa dilakukan dimana saja oleh lembaga arbitrase dari negara manapun yang harus menyelenggarakan prosedur arbitrase dengan ICC rules sedangkan hukum yang berlaku disana adalah tetap hukum Indonesia. Proses arbitrase dihadiri oleh pihak yang bersengketa beserta pengacaranya, penyelesaian sengketa dikontrol dan ditentukan oleh arbiter, sifat pemeriksaannya lebih formal dari proses penyelesaian sengketa sebelumnya, tetapi tidak seformal proses pemeriksaan jika melalui pengadilan, mempunyai batas waktu tertentu serta biaya perkara pemeriksaan arbitrase yang tetap dan relatif murah. Putusan juga diambil berdasarkan pertimbangan ex aeque et bono dan yang paling penting putusan mempunyai kekuatan hukum yang final and binding.

Dalam perkembangan ADR khususnya di Amerika terdapat beberapa cara lagi yang umum dipilih oleh para pihak disana untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Cara-cara tersebut adalah :
1. Summary Jury Trial, sesuai dengan sistem peradilan disana yang menggunakan juri, maka para pihak seringkali berbeda persepsi tentang apa keputusan yang akan diambil oleh juri tersebut seandainya sengketa ini diselesaikan melalui jalur pengadilan. Untuk itu para pihak sepakat memilih beberapa orang sebagai juri, dan hakim (sebenarnya) dimintai memberikan beberapa pandangan agar proses persidangan yang akan digelar benar-benar mirip dengan proses peradilan yang sesungguhnya. Masing-masing pengacara akan membela kliennya dengan sungguh- sungguh di hadapan para juri dan disaksikan juga oleh hakim yang disewa tersebut. Perbedaannya dengan peradilan yang sebenarnya hanya terletak pada dibatasinya jumlah saksi yang dipanggil, serta lamanya proses persidangan yang waktunya juga dibatasi.
2. Minitrial, para pihak yang bersengketa akan memanggil eksekutif perusahaannya (high level executive) yang tidak terlibat langsung di dalam sengketa ini beserta seorang penasehat yang netral untuk mendampinginya. Mereka akan menukarkan dokumen yang mereka miliki sebelum mereka menetapkan tentang prosedur, waktu dan bentuk persidangan mini yang akan diadakan. Setiap pihak akan diberi kesempatan untuk mempresentasikan kasusnya dan peserta yang hadir diperbolehkan untuk menyanggah, bertanya, atau memberi komentar tentang materi presentasi tersebut. Akhirnya, eksekutif dibantu penasehatnya tadi harus mengambil keputusan berdasarkan proses persidangan tersebut. Biasanya semua proses ini hanya memakan waktu 1 sampai 4 hari saja.
3. Early Neutral Evaluation, segera setelah para pihak mendaftarkan perkaranya ke pengadilan, hakim menunjuk pengacara yang netral dan berpengalaman untuk menilai materi atau pokok perkara. Cara ini biasanya dilakukan pada awal proses litigasi dan tujuannya agar kepada pihak yang berperkara diberikan pandangan objektif mengenai perkara masing-masing pihak menurut perspektif si pengacara yang netral tadi.
4. Neutral fact finding, pertimbangannya adalah pada perkara yang benar-benar kompleks sebenarnya para pihak tidak bersengketa mengenai hukumnya atau penerapan hukum pada fakta, tetapi murni sengketa mengenai fakta-fakta yang ada. Untuk menghindari pertikaian saksi-saksi ahli yang dipanggil, sebelum proses litigasi dimulai, hakim atau para pihak menunjuk seorang ahli yang netral. Ia diberikan kesempatan melakukan penelitian lalu melaporkan temuan-temuannya. Temuan ini kemudian dijadikan dasar untuk kembali merundingkan penyelesaian sengketa tersebut. Kalau sampai harus diselesaikan melalui litigasi, maka temuan itu masih dapat dipakai untuk membantu mencapai proses penyelesaian sengketa di depan pengadilan.
5. Rent a judge, merupakan prosedur resmi di beberapa negara bagian di Amerika yang prosesnya adalah berdasarkan atas usulan dan rekayasa dari para pihak akan ditunjuk pihak ketiga yang netral untuk memutus perkara pengadilan yang masih tertunda. Keputusannya berkekuatan hukum seperti sebuah putusan pengadilan dan dapat diajukan banding menurut prosedur peradilan biasa.

ARBITRASE

Sebenarnya penggunaan arbitrase di dunia sudah berlangsung sejak lama. Cikal bakal lembaga arbitrase sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi hingga ke negara-negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian menyebar ke Prancis (1250), Skotlandia (1695), Irlandia (1700), Denmark (1795), dan sebenarnya di Indonesia, waktu masih bernama Hindia Belanda, pasal tentang arbitrase sudah terdapat di dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV) pada tahun 1849. Artinya 21 tahun sebelum praktek arbitrase dikenal di Amerika yaitu pada tahun 1870. Akan tetapi, dari aspek pengaturan di dalam undang-undang, maka undang-undang arbitrase yang tertua di dunia adalah Arbitration Act di Inggris yang berlaku sejak 1697 yang sampai sekarang masih berlaku dengan perubahan disana-sini, sedangkan di Amerika, Arbitration Act itu sendiri baru berlaku pada tahun 1925.

Di Indonesia, pengaturan tentang arbitrase saat ini terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
  2. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Penjelasan pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tetap diperbolehkan asal hal itu dilakukan berdasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrasi).
  3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968 tentang pengesahan The 1965 Convention On The Settlement Of Investment Disputes Between States Or Nationals Of Other States atau Washington Convention, yang mengatur sengketa antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak asing dalam rangka penanaman modal asing.
  4. Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981 tentang pengesahan Convention On The Recognation And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards atau New York Convention 1958, yang berlaku atas dasar prinsip resiprositas dan terbatas pada penyelesaian sengketa komersial saja.
  5. Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Diharapkan dengan pengaturan yang cukup lengkap, akan membuat penggunaan arbitrase di Indonesia relatif lebih ‘aman’ dibandingkan dengan penggunaan metode penyelesaian sengketa lainnya. Menurut Uniform Code of Arbitration di Amerika: arbitration is a method of having a dispute between two or more parties resolves by impartial persons who are knowledgeable in the area in controversy sedangkan rumusan arbitrase menurut UU Arbitrase yaitu, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Rumusan arbitrase yang cukup lengkap terdapat di Black’s law dictionary seperti yang dikutip oleh Abdurrasyid (tahun penulisan tidak diketahui), yang tertulis : “Arbitration : the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas itu, penulis menyimpulkan bahwa paling tidak terdapat tiga unsur yang terdapat di dalam pengertian arbitrase khususnya yang berlaku di Indonesia, yaitu:

  1. Proses penyelesaian sengketa di luar peradilan umum
  2. Berdasarkan kesepakatan para pihak yang tertulis dalam kontrak
  3. Mengikutsertakan pihak ketiga atau pihak di luar pihak yang bersengketa.

Penggunaan arbitrase dalam pengertian seperti di atas tadi seakan-akan ingin membuktikan bahwa terdapat banyak sekali alasan yang menyebabkan arbitrase telah digunakan secara luas di berbagai negara dan dalam periode waktu yang cukup panjang. Beberapa kelebihan arbitrase daripada metode penyelesaian sengketa lainnya adalah:

  1. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan
  2. Keahlian (expertise)
  3. Cepat dan hemat biaya
  4. Bersifat rahasia
  5. Bersifat nonpreseden
  6. Kepekaan arbiter
  7. Pelaksanaan keputusan
  8. Kecenderungan dunia modern

Arbitrase lebih banyak digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan sengketa dagang dibanding metode lainnya karena alasan-alasan:
1. Efesiensi waktu dan biaya. Dibatasinya pemeriksaan perkara hanya pada satu tingkat, otomatis akan mengurangi waktu penyelesaian sengketa. Jika diperiksa oleh peradilan umum, maka prosesnya akan mencapai 4 tingkat, yaitu; pemeriksaan pertama di pengadilan negeri, pemeriksaan banding di pengadilan tinggi, kasasi dan Peninjauan Kembali dilakukan di Mahkamah Agung. Proses ini di Indonesia akan memakan waktu rata-rata tidak kurang dari 8-9 tahun. Perinciannya adalah 6 bulan diperiksa dan sudah harus diputus di pengadilan negeri, jika diadakan pemeriksaan banding maka sudah harus diputus dalam waktu 6 bulan oleh pengadilan tinggi sedangkan untuk dapat diperiksa kasasi di Mahkamah Agung biasanya menunggu tidak kurang dari 3 tahun. Dengan dimungkinkannya Peninjauan Kembali, paling tidak sampai sebuah keputusan dapat dieksekusi melalui pengadilan negeri ditambah kemungkinan adanya perlawanan dari pihak ketiga yang harus diperiksa dan diputus terlebih dulu, maka total waktu yang harus ditempuh oleh sebuah kasus di peradilan berkisar antara 8 sampai 9 tahun. Lamanya proses ini walaupun akan memakan biaya nominal yang besar, bagi pengusaha pertimbangan tentang opportunity cost-nya adalah jauh lebih berarti. Melalui arbitrase, kendala waktu seperti ini relatif dapat diatasi. Selain soal lamanya waktu pemeriksaan, yang menjadi concern pengusaha adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh, tabel berikut ini akan menampilkan rincian biaya perkara yang ditetapkan oleh The American Arbitration Association (AAA). Selain terlihat bahwa biayanya relatif murah, yang lebih penting lagi jumlahnya juga sudah ditentukan sejak awal.
2. Kompetensi. Arbitrase mensyaratkan bahwa proses pemeriksaan benar-benar akan dilakukan oleh arbiter yang sangat kompeten dibidangnya. “A final advantage of arbitration is arbitration often have a personal background or technical expertise in the area suroounding the dispute. By comparasion, judgets and jurist trained in the law often lack complete comprehension of the subject matter”.
3. Terjebak dalam hukum asing. Menghindarkan para pihak (asing terutama) terjebak dalam hukum mitra dagangnya yang memang kurang dipahami atau bahkan sama sekali belum dikenalnya. Para pihak dapat memilih sendiri hukum mana yang akan diberlakukan berikut arbiternya.
4. Kesinambungan mitra bisnis. Arbitrase mampu membuat hubungan baik dengan partner-nya itu relatif tetap terpelihara sekalipun terjadi sengketa diantara mereka. Hal ini disebabkan karena putusan yang final and binding ini akhirnya harus dilaksanakan dengan sukarela oleh para pihak.
5. Re-new hak dan Kewajiban. Terutama untuk kontrak-kontrak yang rumit dan dilaksanakan dalam periode waktu yang panjang. Arbitrase akan menyesuaikan kontrak dengan perubahan keadaan yang sebelumnya sulit diperkirakan pada waktu kontrak ditandatangani. Untuk hal ini arbiter diminta untuk menginterpretasikan, menyempurnakan, mengubah, atau menyesuaikan suatu kontrak akibat timbulnya perubahan (binded advies). Syaratnya hal binded advis atau binding opinion ini sebelumnya harus sudah dicantumkan di dalam kontrak. Jadi, yang dikedepankan di sini bukanlah putusan atas sengketa diantara para pihak, melainkan penentuan lebih lanjut tentang hak dan kewajiban para pihak berkenaan dengan terjadinya perubahan lingkungan eksternal atau internal.
6. Privacy. Menghindarkan perusahaan dari publikasi atau pembeberan kasus yang dapat menurunkan image perusahaan karena pemeriksaan dalam arbitrase tidak terbuka untuk umum seperti pada peradilan umum. Publikasi putusan dengan nama para pihak tidak diperbolehkan kecuali dengan persetujuan para pihak. Di Belanda publikasi yang sudah disamarkan, tetapi ternyata masih dapat menunjukkan para pihak yang bersengketa tidak diperbolehkan dipublikasi.
7. Cepat dan mudah. Keputusan arbitrase juga akan lebih cepat dan mudah untuk segera dieksekusi selama putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di negara tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal V Ayat 2 Konvensi

KEDUDUKAN ARBITRASE DI DALAM KONTRAK

Yang dimaksud dengan transaksi bisnis atau dagang adalah hubungan timbal balik di antara dua pihak atau lebih (biasanya pelaku bisnis) di bidang bisnis dan/atau perdagangan tertentu, melalui penetapan dan pelaksanaan janji-janji secara timbal balik dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis (economic profit) yang seoptimal mungkin bagi masing-masing pihak. Contoh-contoh transaksi dan kontrak bisnis misalnya; kontrak jual beli barang (sale of goods contract), kontrak pinjam meminjam uang (loan agreement), kontrak lisensi paten (patent license contract), kontrak build, operate dan transfer, kontrak franchise, license agreement, joint venture agreement, atau distributhorship agreement.

Unsur-unsur pokok suatu kontrak bisnis meliputi:
1. Bagian pembukaan, memuat identitas dari pihak serta penjelasan umum latar belakang transaksi bisnis yang diadakan di antara mereka. Misalnya judul kontrak, identitas para pihak, ruang lingkup kontrak, atau pertimbanganpertimbangan umum kontrak atau recitals.
2. Perjanjian pokok, berisi pokok hubungan hukum serta hak dan kewajiban utama para pihak yang terbit dari kesepakatan yang dibentuk oleh para pihak dalam transaksi bisnis mereka. Di dalam suatu kontrak franchise misalnya tentang penetapan wilayah atau teritorial eksklusif untuk franchisee, hal-hal yang menyangkut besarnya kewajiban pembayaran biaya franchise (fee atau royalties), atau perincian bisnis yang difranchise-kan.
3. Perjanjian tambahan atau penunjang, memuat tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak serta hal-hal lain yang dianggap perlu untuk mendukung pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Antara lain pasal-pasal tentang wanprestasi yaitu memuat tentang hal atau situasi apa yang disepakati para pihak sebagai ingkar janji berikut akibat-akibat yang timbul, ketentuan tentang force majeur, tata cara penyelesaian sengketa, serta pasal tentang jaminan misalnya jaminan tentang bebas dari tuntutan pihak ketiga, jaminan kualitas barang, atau jaminan pelaksanaan. Selain itu, beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya untuk kontrak yang berkenaan dengan pihak asing adalah hal-hal yang berkaitan dengan (1) hukum yang dipilih oleh para pihak untuk mengatur dan menafsirkan pengertian- pengertian dalam kontrak mereka (choice of law). Pilihan mengenai hukum mana yang berlaku atas kontrak berbeda dengan hukum yang mengatur bagaimana arbitrase akan dilangsungkan. Yang terakhir ini ditentukan oleh hukum dari tempat di mana arbitrase akan berlangsung atau lex fori;
(2) Forum pengadilan yang dipilih (choice of forum) untuk menyelesaikan perkara yang mungkin timbul dari kontrak. Pilihannya adalah penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi) atau out of court;
(3) Bahasa resmi, yang digunakan untuk kontrak yang dianggap sah untuk penafsiran kontrak seandainya terjadi perselisihan dalam penafsiran kontrak;
(4) Mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam pelaksanaan kontrak.
4. Ketentuan aspek formalitas, dianggap perlu mendapat perhatian demi keabsahan hukum dan kemungkinan pelaksanaan transaksi bisnis yang dibuat oleh para pihak. Misalnya pasal mengenai pihak yang bertanggung jawab atas proses pendaftaran atau perolehan perizinan khusus (yang diterbitkan oleh badan publik), atau pasal yang memuat alamat dan format korespondensi.
5. Bagian penutup, mengakhiri batang tubuh kontrak dengan identitas pihak-pihak dalam transaksi serta hal lain yang perlu dimuat untuk memberi keabsahan yuridis pada kontrak yang bersangkutan. Misalnya tanggal dan tempat penandatanganan kontrak, kolom untuk tanda tangan para pihak atau wakil resminya, tanda pengenal, cap, atau materai.
6. Lampiran-lampiran kontrak, untuk memuat detil-detil teknis operasional yang dianggap perlu dan berkenaan langsung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban utama para pihak, tetapi yang dianggap tidak mungkin atau tidak efisien untuk dimuat di dalam pasal-pasal kontrak.

Jika kontrak bisnis diadakan secara internasional, maka hukum yang berlaku didalamnya tidak hanya hukum nasional para pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, melibatkan juga hukum regional (misalnya, dalam kerangka North American Free Trade Area atau NAFTA, European Community atau EC, dan Asean Free Trade Area atau AFTA) dan hukum internasional. Juga sebaliknya, tidak mungkin transaksi bisnis internasional terjadi tanpa ada singgungan dengan rezim hukum nasional. Sebab globalisasi tidak akan menghapuskan negara dari peta bumi sehingga selama negara tetap exist, hukum ekonomi nasional tetap akan relevan. Umumnya kontrak-kontrak bisnis internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Transaksi bisnis dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kewarganegaran, tempat kediaman, atau tempat usaha di negara-negara yang berbeda
  2. Kontrak terbentuk melalui proses penawaran (offer) dan penerimaan tawaran (acceptance) yang berlangsung dari dua atau lebih negara-negara yang berbeda
  3. Melibatkan aktivitas pertukaran dan lalu lintas barang, jasa dan uang yang berlangsung secara internasional serta melibatkan pihak-pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda-beda
  4. Kontrak itu menerbitkan hak dan kewajiban pihak-pihak yang harus dilaksanakan di wilayah negara-negara yang berbeda

Umumnya di dalam kontrak-kontrak dagang yang melibatkan pihak asing, para pihak akan memilih arbitrase sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka. Oleh karena itu, pilihan ini harus secara tegas dinyatakan di dalam kontrak yang akan ditandatangani.

Sebelum berlakunya UU Arbitrase, menurut pandangan yang berlaku umum di Indonesia, klausul arbitrase merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokoknya sehingga jika perjanjian utamanya hapus atau batal, akan hapus atau batal pula perjanjian tambahannya. Misalnya, dalam kasus hubungan antara eksportir dan importir. Diantara mereka sepakat untuk mengadakan perjanjian ekspor impor barang yang akan diikuti oleh perjanjian-perjanjian tambahan lainnya. Perjanjian tambahan lainnya itu misalnya perjanjian pengangkutan, pertanggungan asuransi, atau perjanjian pembukaan L/C. Di dalam perjanjian pengangkutan yang ditutup dengan klausul FOB (free on board), CIF (cost, insurance, freight) atau FAS (free along side), dinyatakan secara tegas siapa yang menanggung risiko atas barang tersebut setelah ditutupnya perjanjian ekspor impor. Bilamana perjanjian ekspor impor batal dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kedudukan pengangkut karena sukar mencari ketentuan yang melindungi pengangkut dari akibat kebatalan tersebut. Demikian juga halnya jika klausul arbitrase dimasukkan sebagai perjanjian tambahan, maka satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan sengketa seperti dalam kasus di atas hanyalah pengadilan yang jelas-jelas akan merugikan kedua belah pihak.

Pasal 10 UU Arbitrase yang baru, ditegaskan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan berakhir atau batal sebab pemberakhirannya atau batalnya perjanjian pokok. Pemahaman bahwa perjanjian arbitrase diperlakukan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri terlepas dari perjanjian induknya ini juga dianut secara internasional. Termasuk oleh BANI, ICC, ICSID dan lembaga-lembaga arbitrase internasional lainnya. Hal ini secara jelas terlihat di dalam The Uncitral Model Law On International Commercial Arbitration yang sering dijadikan acuan oleh lembaga-lembaga tersebut, yang tertulis : “The arbitral tribunal may rule on its own jurisdiction, incluiding any objections with respect to the existence or validity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration clause shall be treated as an agreement independent to the other terms of the contracts.”

Di dalam klausul arbitrase itu sendiri akan mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase (choice of forum) atau the scope of the agreement to arbitrate (all disputes concerning the contract)
  2. Ruang lingkup arbitrase atau where the arbitration will occur (city and country are usually stated)
  3. Apakah akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc, jika dipilih bentuk ad hoc, maka klausul itu sebaiknya membuat perincian metode penunjukkan arbiter atau majelis arbitrasenya
  4. Aturan prosedur yang berlaku, misalnya menunjuk Uncitral model law sebagai hukum acaranya
  5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase
  6. Pilihan terhadap hukum substansif yang berlaku bagi para pihak (choice of law) atau the governing law that will be used to resolve disputes
  7. Klausul stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas) jika diperlukan. Klausul stabilisasi memberikan wewenang kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk mengabaikan perubahan pasca kontrak dari peraturan-peraturan yang ada di negara tersebut

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, H. Priyatna., Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional di Luar Pengadilan, makalah, tahun penerbitan tidak diketahui.

Adolf, Huala., Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO, Varia Peradilan, Tahun XIII No. 148, Januari, 1998.

Anthony, William P., Pamela L. Perrewe dan K. Michele Kacmar., Strategic Human Resources Management, 2nd edition, The Dryden Press, United States, 1996.

Ball, Donald dan Wendell McCulloch., International Business; The Chalengge Of Global Competition, 7th edition, Irwin-McGraw Hill, United States, 1999.

Bank Indonesia, Laporan Tahunan Bank Indonesia 1997/1998.

Budiman, Arie., Lembaga Arbitrase; Aspek Hukum dan Permasalahannya, Majalah Bank dan Manajemen, edisi September-Oktober, 1997.

Carver, Todd B., dan Albert A. Vondra., Alternative Dispute Resolution: Why It Doesn’t Work And Why It Does, Journal Harvard Business Review, May-June, 1994.

Fuady, Munir., Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek; Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Gautama, Sudargo., Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, cetakan pertama, PT. Eresco, Jakarta, 1989.

Gautama, Sudargo, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Goodpaster, Gary., Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit oleh Felix O. Soebagjo, PT. Ghalia, Jakarta, 1995.

Goodpaster, Gary., Felix O. Soebagjo, dan Fatimah Jatim, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit oleh Felix O. Soebagjo, PT Ghalia, Jakarta, 1995.

Gray, Cheryl W., Reforming Legal Systems in Developing and Transition Countries, Journal Finance & Development, September, 1997.

Hill, Charles W.L., International Business; Competing in The Global Marketplace, 3rd edition, Irwin-McGrawHill, United States, 1999.

Keegan, Warren J., Global Marketing Management, 6th edition, Prentice Hall International, Inc., United States, 1999.

Kontan, KUHA Perdata Setelah 152 Tahun, Nomor 38, tahun IV, Edisi 19 Juni 2000.

Lastara, I Made., dan Sudikno Mertokusumo., Pelaksanaan dan Penyelesaian Sengketa dalam Perjanjian Jasa Perhotelan (Antara Pengusaha Hotel dan Pengusaha Biro Perjalanan Wisata di Propinsi Bali)”, Jurnal BPPS-UGM, edisi 10 (2A), Mei 1997.

Longdong, Tineke L.T., Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Lubis, T. Mulya., Aspek Hukum Perdagangan Internasional, Majalah Usahawan, nomor 8 tahun XX, Agustus, 1992.

McCarty, F. William dan John W. Bagby., The Legal Environment of Business, Richard D. Irwin Inc., United States, 1990.

Ohorella, H.M.G., dan H. Aminuddin Salle, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit oleh Felix O. Soebagjo, PT Ghalia, Jakarta, 1995.

Pritchard, John., The Asia Pasific Legal 500; The Guide To Asia’s Commercial Law Firms, 3rd edition, Midas Printing Limited, Hong Kong, 1998.

Rusli, Hardijan., Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Setiawan., Beberapa Catatan Tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian Sengketa, Varia Peradilan, Tahun XIII No. 145, Oktober, 1997.

Siahaan, Edi Simon., “Sengketa Dagang: Bahkan Duta Besar Pun Tidak Berkutik”, Warta Ekonomi, Edisi No. 05/TH.XII/ 19 Juni 2000.

Simbolon, Parakitiri T., Indonesia Memasuki Milenium Ketiga, 1000 Tahun Nusantara, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2000.

Soebagjo, Felix O., dan Fatimah Jatim., Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit oleh Felix O. Soebagjo, PT. Ghalia, Jakarta, 1995.

Subekti., Hukum Perjanjian, Cetakan XIV, PT. Intermasa, Bandung, 1992.

Teweles, Richard J., Edward S. Bradley dan Cedric Choi, The Complete Guide to Preventing and Resolving Brokerage Disputes, John Willey & Sons, United States, 1989.

Thompson, Arthur A. dan A.J. Strickland III., Strategic Concept; Concepts and Cases, 10th edition, Irwin-McGraw Hill, United States, 1998.

Tjoekam, H. Moh., Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial; Konsep Teknik dan Kasus, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Waluyo, Bernadette., Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, volume 9, 1999.

Wibowo, Basuki Rekso., Studi Perbandingan Beberapa Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Jurnal Pro Justitia, tahun XIV nomor 4 Oktober, 1996.

Tidak ada komentar: