Senin, 01 November 2010

Kewenangan Menguji Undang - undang II

Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 lebih baik diserahkan ke Mahkamah Agung (MA) bukan ke MPR. Hak uji merupakan fungsi hukum bukan fungsi politik, karena itu yang melaksanakan hak uji tersebut harus lembaga hukum seperti MA atau badan-badan peradilan lainnya, bukan MPR yang merupakan lembaga politik. Jakarta, 19 Maret 2002 PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD 1945 DISERAHKAN KE MA

Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 lebih baik diserahkan ke Mahkamah Agung (MA) bukan ke MPR.Hak uji merupakan fungsi hukum bukan fungsi politik, karena itu yang melaksanakan hak uji tersebut harus lembaga hukum seperti MA atau badan-badan peradilan lainnya, bukan MPR yang merupakan lembaga politik.

Demikian yang mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Panitia Ad Hoc (PAH) II BP MPR dengan Pakar Hukum Tata Negera tentang Mekanisme/ Prosedur Pelaksanaan Wewenang MPR dalam hal pengujian Undang-undang dengan UUD 1945 dan TAP MPR di Gedung Nusantara IV MPR/DPR, Jakarta, Selasa (19/3).

Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua PAH II Rambe Kamarulzaman dan dihadiri oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo, Ketua MA Bagir Manan, Harun Al Rasyid, Jimly Assidiqie, dan Dahlan Thaib. Sementara Mustopadidjaja berhalangan hadir, namun melalui wakilnya Sudiman memberikan pendapat tertulisnya kepada PAH II.Bambang Kesowo menyatakan, keberadaan kewenangan untuk pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sangat sulit dilepaskan dari filosofi yang melingkupi ide-ide tentang pembentukan Negara itu sendiri.Kewenangan MPR tersebut, menurut Bambang, sepintas mudah dipahami karena MPR merupakan lembaga tertinggi negara. “…Tetapi ada satu hal di mana masalah kewenangan untuk menguji yang dilakukan oleh lembaga yang anggotanya sebenarnya juga pembuat undang-undang, seringkali menimbulkan persoalan, bukan soal hierarki di dalam masalah kewenangan tetapi di dalam konteks pertanggungjawaban moral” ujar Bambang.

Pada pertemuan yang sama, Harun Al Rasyid mengatakan, yang memiliki hak menguji adalah hakim, sehingga disebut judicial review. MPR adalah lembaga politik, menurut Harun, bagaimana MPR bisa menguji TAP MPR kalau hakim berhak mengatakan ini peraturan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sementara MPR tidak mungkin mengatakan TAP MPR tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Kewenangan untuk menguji undang-undang jika berpijak pada Pasal 24 (lama) UUD 1945, Harun berpendapat, hak menguji tersebut merupakan monopoli Mahkamah Agung. “…Tetapi sekarang kan sudah diamandemen oleh MPR bahwa itu (hak menguji merupakan kewenangan - red) Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,” jelas Harun.

Untuk itu, Harun menyarankan, sebagai tindak lanjut dalam Amandemen UUD 1945, DPR harus segera membuat undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi dapat segera terwujud dan bekerja untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR.

Sementara itu, Bagir Manan mengatakan, kewenangan MPR untuk menguji udang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR erat kaitannya dengan keberadaan MPR sekarang dan MPR di masa yang akan datang. Karena, menurut Bagir, MPR yang akan datang terdiri dari DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) atau ditambah Utusan Golongan, sehingga MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat. “…MPR itu badan pembentuk undang-undang di masa yang akan datang bukan lagi satu badan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi,” ucap Bagir. Sependapat dengan Harun, Bagir menyatakan, hak uji itu merupakan satu fungsi hukum bukan fungsi politik. ”…Karena itu kelembagaannya pun harus lembaga hukum. Lembaga hukum yang mana, kita sudah memilih ada dua badan hukum, yaitu badan peradilan biasa (Mahkamah Agung - red) dan badan peradilan khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi,” jelas Bagir.

Bagir kurang sependapat dengan rumusan Amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa MA mempunyi wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebab satu peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang itu bisa juga dianggap Undang-Undang Dasar, ujar Bagir.Senada dengan Bagir, Jimly Assidiqie menyatakan, kelembagaan MPR harus dipahami secara baru, yaitu MPR terdiri dari elemen-elemen sehingga mengarah ke sistem bikameral.

Jimly berpendapat, hak penguji adalah hakim bukan lembaga lain apalagi unsur lembaga parlemen. Subyek penguji tersebut, menurutnya, erat kaitannya dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dan prinsip pembagian kekuasaan (division of power).

Jimly menjelaskan, founding fathers pada saat menyusun UUD 1945 menganut prinsip pembagian kekuasaan bukan prinsip pemisahan kekuasaan, sehingga hak pengujian tersebut berada pada institusi yang membuat peraturan sendiri. Tetapi, dengan Perubahan pertama dan kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan sudah diadopsi. Berarti terbuka peluang bagi kita sekarang untuk memahami sturktur ketatanegaraan kita dengan menggunakan prinsip checks and balances berdasarkan prinsip separation of power, jelas Jimly. Mengenai Mahkamah Konstitusi, Jimly berpendapat, jika di masa yang akan datang sudah ada Mahkamah Konstitusi, maka judicial review diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi.

Walaupun Mahkamah Konstitusi belum terbentuk menurut Jimly, untuk sementara waktu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR jangan diserahkan ke MPR. Alasannya, jika ingin mengikuti arus hukum, maka pengujian tersebut harus diserahkan dan dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung tidak boleh menolaknya karena Mahkamah Konstitusi belum terbentuk. Berbeda dengan pakar-pakar hukum tata negara sebelumnya, Dahlan Thaib berpendapat, kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR berada pada MPR.

Menurut Dahlan, MPR dapat menetapkan sesuatu yang tidak dapat ditetapkan dalam UUD. Karena, lanjut Dahlan, jika MPR mengganggap suatu undang-undang itu bertentangan dengan UUD, maka MPR dapat membuat Ketetapan MPR.Di samping itu, Dahlan mengatakan, jika Mahkamah Agung yang membatalkan suatu undang-undang akan terjadi kekosongan hukum, karena Mahkamah Agung bukan lembaga legislatif yang dapat membuat produk hukum.

Mustopadidjaja melalui pendapat tertulisnya yang dibacakan oleh wakilnya Sudiman menyatakan, posisi dan peran MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara yang berkewenangan dalam menetapkan UUD, menetapkan GBHN,) pengangkatan presiden dan wakil presiden, dan disarankan untuk ditambah dengan meminta pertanggungjawaban presiden pada akhir masa jabatannya. Penambahan itu, menurut Mustopadidjaja, akan memberikan semacam kekuasaan untuk menguji berbagai kebijakan yang dikembangkan pemerintah dalam melaksanakan GBHN, termasuk ketetapan peraturan perundangannya.

Dengan demikian, menurut Mustopadidjaja, dapat dihindari keterlibatan MPR pada kegiatan pengujian peraturan perundang-undangan yang relatif membutuhkan kegiatan rutin yang cenderung mempengaruhi efektivitas manajemen pemerintahan sekaligus menghindari ketidakjelasan posisi Makkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: