Rabu, 17 November 2010

Tommy dan Hak Asasi Manusia

Eurofia yang amat gempita membahana menjelang buka puasa tahun 2001 yang lalu, ketika Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, buronan ‘satu milyar’ tertangkap. Berbagai komentar dilontarkan, baik oleh kalngan masyarakat, aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum. Popularitasnya mengatasi kesadaran masyarakat tentang siapa dia sebenarnya. Tak kurang seorang petinggi polisi yang selama ini terkesan sebagai pemburu yang dipecundangi Tommy, bersalaman seraya memeluknya. Bahkan ada pula yang mengucapkan selamat datang! Begitu ‘ramahnya’ bangsa Indonesia. Ada semacam kegetiran ‘komedi tragedi’ melihat adegan tersebut. Begitu pula ketika menyaksikan reaksi masyarakat terhadap tertangkapnya Tommy Soeharto yang begitu ’melodramatik’. Ada yang berpesan “Awas Tommy lolos lagi!”, layaknya seperti rombongan anak-anak kecil yang tengah mengejar kucing yang ‘badung’, yang sering mencuri makanan di dapur. Tommy sendiri tak kalah kocak dengan mengatakan bahwa dirinya seperti orang yang sedang main catur, menang, kalah, atau remis…, dan kali ini dia kalah! Seraya mengingatkan pada polisi tentang hadiah yang seharusnya diterima orang yang berhasil menangkap dirinya.

Nah, kini setelah Tommy diadili seusai buron, palu hakim menjatuhkan vonisnya, masyarakat pun bereaksi tidak kalah ‘meriahnya’. Sorotan tajam kini diarahkan pada khasanah peradilan dengan predikat “peradilan yang mengecewakan” karena sementara orang berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhkan kurang berat. “mosok … cuma lima belas tahun, seharusnya hukuman mati atau paling tidak seumur hidup!”.

Begitu pula ketika hakim memerintahkan segera masuk lapas (lembaga pemasyarakatan), dengan segera perhatian masyarakat diarahkan pada lapas. Mereka menuding lapas ‘mengistimewakan’ narapidana Tommy, dengan memberikan pelayanan kamar yang super mewah! Bahkan, dianggap sebagai pelecehan terhadap narapidana lainnya. Lapas dianggap tidak adil dan hal tersebut disebabkan adanya rasa sungkan dan barangkali juga uang…

Begitu kira-kira pendapat masyarakat yang dilansir oleh media massa. Kemudian, keluarlah ide baru untuk memidanakan Tommy dari Lapas Cipinang ke Lapas Sukamiskin Bandung, atau ke Lapas Nusakambangan. Akhirnya dengan alasan pembinaan dan keamanan, sebagaimana tertuang dalam UU Pemasyarakatan, Tommy Soeharto dipindahkan ke Lapas Nusakambangan dengan pengawalan yang ‘istimewa’ dari jajaran aparat kepolisian, dengan alasan bahwa Tommy masuk dalam narapidana (warga binaan) dalam kategori “maksimum sekuriti”. Pemindahan tersebut barangkali untuk mengurangi sorotan pers dan juga kecemburuan narapidana lainnya selama Tommy menjalani hukumannya, atau barangkali dikhawatirkan adanya kelompok masyarakat yang melakukan ‘intervensi’ terhadap diri Tommy. Kalangan judicial watch mengatakan bahwa hal tersebut kurang tepat, karena akan sulit bagi masyarakat maupun pers untuk mengontrol apakah Tommy Soeharto benar-benar menjalani hukumannya.

Padahal sebagaimana kita ketahui di masa lalu, ketika Bob Hasan di jebloskan ke Lapas Nusakambangan, orang mengatakan bahwa Bob Hasan pantas menjadi penghuni penjara “Alcatraz” Indonesia tersebut. Begitu angkernya Lapas Nusakambangan sehingga disejajarkan dengan penjara Alcatraz, yang melegenda dalam dunia kriminal sebagai sebuah penjara yang kejam dan terpencil di sebuah pulau kecil di Amerika. Sejak zaman penjajahan dahulu, Lapas Nusakambangan dianggap sebagai tempat bagi penjahat kawakan dan berbahaya, serta pembuat onar dalam masyarakat maupun dalam lapas sendiri. Stigma yang dilekatkan pada Lapas Nusakambangan sangatlah buruk bagi narapidana. Namun, tak kurang dari Elsya Syarif, sebagai penasihat hukum Tommy, berteriak memprotes rencana pemindahan tersebut dengan mengatakan bahwa terpidana berhak untuk memilih tempatnya menjalani hukuman …

Hak Asasi Narapidana

Dari ilustrasi tersebut, tergambar berbagai pro-kontra aneka sudut pandang masyarakat dalam menyikapi mekanisme dan prosedur lapas kita sebagai bagian dari “criminal justice system” di Indonesia, khususnya mengenai perlakuan terhadap narapidana ‘selebritis’ seperti Tommy Soeharto. Ditambah lagi dengan keputusan pemerintah untuk memberikan remisi bagi Tommy Soeharto. Jika dilihat dari sudut peraturan perundang-undangan yang berlaku, berhak mendapat remisi. Apabila dihitung sejak Tommy mulai mendekam di rumah tahanan, dia sudah memenuhi syarat ‘durasi’ 6 (enam) bulan pemberian remisi.

Dalam PP No. 32 Tahun 1999 dinyatakan dalam pasal 34 ayat (1) bahwa setiap narapidana dan anak pidana selama menjalani masa pidana berkelakuan baik, berhak mendapat remisi. Kemudian secara lebih rinci dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 174 Tahun 1999.

Dalam konteks HAM, adanya Lembaga Remisi merupakan hak dimiliki oleh setiap narapidana. Hak tersebut dapat diperoleh dengan harus memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi bukan karena belas kasihan atau alasan-alasan lain di luar hukum. Akan tetapi, masyarakat menghendaki lain. Rasa keadilan masyarakat, setidak-tidaknya menurut M. Fatwa, seorang wakil rakyat di DPR, Tommy belum layak diberi remisi karena perilakunya belum dapat dinilai hanya dalam beberapa pekan di lapas.

Dari berbagai kenyataan dan sudut pandang lahirlah pernyataan berikut: apakah benar seorang narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan ‘kenyamanan’ dalam menjalani hukumannya? Ataukah seorang narapidana harus seperti ‘orang buian’ atau ‘orang perantaian’ atau ‘pesakitan’, dengan baju belang-belang, kaki diganduli rantai ditambah bola besi di ujungnya, seperti yang sering kita bayangkan tempo dulu di zaman penjajahan, atau seperti dalam film legendaris Papillon? Barangkali sekedar untuk memperluas wawasan kita, sepatutnya diketahui peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tesebut. Secara internasional, terdapat sebuah peraturan mengenai minimum standar bagi perlakuan terhadap narapidana, yang diterima oleh kongres pertama PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Para Pelanggar, yang dilaksanakan di Geneva pada tahun 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) tanggal 13 Mei 1977. Dengan mengacu pada konvensi internasional tersebut, Indonesia mengadopsi substansi konvensi PBB itu, baik ke dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 maupun PP RI No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan dalam bentuk peraturan menteri lainnya.

Konvensi PBB tentang Minimum Standar bagi Perlakuan Terhadap Narapidana berikut tidaklah dimasukkan untuk menggambarkan secara rinci suatu model lembaga hukuman. Peraturan tersebut hanya mencari atas dasar consensus umum mengenai pemikiran masa kini dan elemen pokok dari sistem-sistem yang paling memadai sekarang ini, serta untuk memulai dengan apa yangs secara umum diterima sebagai prinsip-prinsip dan prkatik yang baik dalam memperlakukan para narapidana dan pengelolaan lapas.

Dalam Prinsip Dasar Hak Asasi Narapidana, dinyatakan dengan tegas bahwa:

1. Tidak boleh ada diskriminasi yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendidikan politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

2. Di pihak lain, adalah perlu untuk menghormati keyakinan agama atau jajaran moral dari kelompok di mana si penjara termasuk. Kedua prinsip dari jajaran hak asasi narapidana merupakan rujukan dalam membuat peraturan perundangan di berbagai negara di dunia. Apabila hal itu dilanggar maka sanksinya diatur dalam Status Roma yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di dunia.

Pemisahan kategori dan Disiplin Hukuman

Narapidana dari kategori yang berbeda harus ditempatkan dalam lembaga atau bagian lembaga yang terpisah dengan mempertimbangkan jenis kelamin, umur, catatan tindakan kejahatan, alasan hukum penahanan mereka, serta keperluan pengobatan bagi mereka. Dengan demikian, maka:

1.) Lelaki dan wanita sejauh mungkin harus ditahan dalam lembaga yang terpisah; dalam suatu lembaga yang menerima baik pria maupun wanita, seluruh bangunan yang diperuntukan bagi wanita harus sama sekali terpisah;

2.) Narapidana yang belum diadili harus dipisahkan dari narapidana yang telah dijatuhi hukuman;

3.) Narapidana yang dihukum karena hutang dan narapidana yang dipenjarakan karena urusan perdata lainnya, harus dipisahkan dari narapidana yang dipenjarakan karena sebab tindak pidana;

4.) Orang-orang muda yang dipenjarakan harus dipisahkan dari orang-orang dewasa.

Disiplin dan ketertiban harus dijaga dengan tegas, tetapi tidak dengan pembatasan yang melebihi yang diperlukan guna penahanan yang aman dan kehidupan bersama yang tertib. Tidak boleh ada narapidana yang disuruh melayani petugas lembaga sebagai hukuman dan tindakan disiplin. Akan tetapi, peraturan ini tidak menghalangi berfungsinya secara baik sistem-sistem yang didasarkan pada pengaturan diri sendiri, yang di dalamnya kegiatan dan tanggung jawab sosial, pendidikan, atau olah raga, dipercayakan di bawah pengawasan orang-orang yang dipenjarakan, yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan pengurusan.

Hukuman badan, hukuman dengan memasukan ke dalam sel gelap, dan semua hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan, harus sama sekali dilarang sebagai hukuman untuk pelanggaran disiplin. Hukuman dalam kurungan yang sempit dan penurunan kualitas dan kuantitas makanan tidak boleh dijatuhkan, terkecuali setelah petugas kesehatan telah memeriksa orang yang di tahan dan memeberi keterangan tertulis bahwa orang yang ditahan kuat menaggungnya. Hal yang sama berlaku untuk setiap hukuman yang lain, yang mungkin dapat merugikan bagi kesehatan jasmani atau jiwa seseorang yang dipenjarakan.

Dalam kasus yang bagaimana pun, tidak boleh ada hukuman yang berlawanan atau menyimpang dari prinsip yang telah disebutkan. Petugas kesehatan harus mengunjungi setiap orang yang dipenjara dan menjalani hukuman seperti itu, serta harus menyarankan kepada Direktur/Kepala Lapas apabila berpendapat bahwa pengakhiran atau perubahan hukuman perlu berdasarkan kepentingan kesehatan jasmani dan jiwa.

Kontak Dunia Luar dan Pemindahan

Narapidana harus diperkenankan berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman mereka yang baik-baik, di bawah pengawasan, dalam jarak waktu yang teratur, baik melalui surat menyurat maupun melalui kunjungan.

Narapidana yang berkebangsaan asing harus diperkenankan memperoleh fasilitas yang wajar untuk berkomunikasi dengan perwakilan diplomatik dan konsuler negaranya. Narapidana warga negara asing yang tidak mempunyai perwakilan diplomatik atau konsuler di negara itu, dan para pengungsi atau orang-orang yang tak bernegara, harus diperkenankan memperoleh fasilitas yang sama untuk berkomunikasi dengan perwakilan diplomatik dari negara yang mengurusi kepentingan mereka, atau setiap otoritas nasional atau internasional yang tugasnya melindungi orang-orang yang demikian.

Narapidana harus tetap mendapatkan informasi yang penting-penting secara teratur, dengan membaca Koran, majalah, atau penerbitan lembaga-lembaga khusus, dengan mendengarkan siaran radio, dengan ceramah, atau cara-cara serupa yang diizinkan atau dikontrol oleh pemerintah.

Bilamana narapidana sedang dipindahkan dari atau keluar lembaga:

1.) Mereka hendaknya sedikit mungkin terlihat dari pandangan dan pengamanan yang tepat harus dilakukan untuk melindungi mereka dari penghinaan, keingintahuan dan publisitas dalam segala bentuknya;

2.) Pengangkutan narapidana dengan kendaraan dan ventilasi atau penerangan yang tidak cukup, atau setiap cara yang akan menempatkan mereka dalam penderitaan fisik yang tidak perlu, harus dilarang;

3.) Pengangkutan narapidana harus dilakukan atas biaya pemerintah dan persyaratan yang serupa harus berlaku bagi semua mereka.

Penutup

Apabila dilihat dari keseluruhan petikan peraturan mengenai minimum standar konvensi PBB, yang substansinya diadopsi oleh pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, bagi perlakuan terhadap narapidana secara universal di hampir seluruh negara di dunia, sesungguhnya Tommy Soeharto berhak untuk dilindungi hak asasinya sebagai narapidana. Hanya saja perlakuan ini seharusnya tidak hanya diberikan kepada Tommy Soeharto, tetapi harus pula diberikan kepada seluruh narapidana di Indonesia. Oleh karena itu tujuan penghukuman dalam sistem pemasyarakatan narapidana di Indonesia, seperti yang tertera dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat bersikap adil dan tidak memberikan perlakuan istimewa kepada seseorang. Bukankah setiap warga negara, khususnya narapidana, atas nama HAM memiliki kedudukan yang sama tanpa pandang bulu di muka hukum?

Tidak ada komentar: