Senin, 01 November 2010

Kewenangan Menguji Undang - undang

Mengapa Undang-undang harus diuji

Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan undang-undang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang politik elit” yang bisa jadi hanya diisi oleh para politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi “ruang-ruang politik publik”. Dengan dinamika proses yang terjadi dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan politik. Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa.

Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional warga Negara.

Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986). Validitas suatu undang-undang dari sisi materi dan proses pembentukannya akan diuji dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK.

Perlu diingat bahwa dalam sistem hukum di Indonesia juga dikenal pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung.

Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/ atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.

Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses pembentukan yang telah diatur dalam UUD. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD.

Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua aspek yaitu materi dan proses.Salah satu aspek tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.

Sejarah Singkat Uji Materil Peraturan di Indonesia

Di Indonesia, pengujian terhadap peraturan perundang-undangan merupakan diskursus hukum yang sudah lama berlangsung. Mulai dari saat pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1945 sampai dengan amandemen UUD yang dimulai pada tahun 1999, soal uji materil ini selalu menjadi salah satu topik yang menarik. Persoalan utamanya berkisar pada “siapa” yang diberi kewenangan menguji suatu peraturan?

Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya wewenang menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat ini sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk menguji peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara itu, undang-undang tidaklah dapat diuji. Padahal hakekat dari judicial review yang dikenal dalam praktek hukum tata negara secara universal adalah untuk memberikan wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif kepada pembuat undang-undang. Di sinilah salah satu inti dari apa yang disebut “checks and balances”.

Selagi amandemen terhadap UUD pada tahun 1999 dilakukan, topik ini menghangat kembali. Akhirnya pada tahun 2001 (amandemen ketiga), muncul ketentuan baru dalam UUD yang diamandemen. Ketentuan inilah yang berlaku pada saat ini.

Di dalam UUD hasil amandemen diatur bahwa wewenang menguji undang-undang berdasarkan UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan wewenang untuk menguji peraturan di bawah undang-undang berdasarkan undang-undang, diberikan kepada Mahkamah Agung.

Melalui mekanisme ini, masyarakat luas mempunyai saluran untuk menguji suatu undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang apabila dirasakan bertentangan dengan hak asasi manusia serta prinsip-prinsip konstitusional lainnya. Memang, perlu dicatat bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidaklah bersifat pro-aktif. Mereka hanya dapat menguji peraturan sesuai dengan wewenangnya, apabila ada permohonan dari masyarakat yang berkepentingan.

Bagaimana Pengujian Undang-undang dilakukan

Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:

  1. Pengajuan permohonan;

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar.Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan.

Siapa saja yang berhak mengajukan permohonan? Ada empat kategori yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang, yaitu:

  1. Perorangan warga Negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
  3. Badan hukum publik atau badan hukum privat;
  4. Lembaga Negara.
  1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.

  1. Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);

Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden.Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.

  1. Pembentukan Panel Hakim

Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.

  1. Penjadwalan Sidang;

Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan.Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.

  1. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;

Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan.Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan.Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut.Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.

  1. Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;

Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan.Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dalam tahap ini meliputi:

  1. Pemeriksaan pokok permohonan;
  2. Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
  3. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
  4. Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
  5. Mendengarkan keterangan saksi;
  6. Mendengarkan keterangan ahli;
  7. Mendengarkan keterangan keterangan pihak terkait;
  8. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
  9. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.

Setelah pemeriksaan tersebut selesai, maka para pihak diberi kesempatan menyampaikan secara lisan dan/atau tertulis paling lambat tujuh hari sejak persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.

Siapa yang mewakili DPR dan Presiden dalam persidangan?

DPR bersama dengan presiden sebagai pembentuk undang-undang menjadi salah satu pihak dalam persidangan.Posisinya seperti termohon dalam persidangan umum.Dalam persidangan tersebut, DPR harus memberikan keterangan, yaitu keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/ atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara.DPR dalam hal ini diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.Selanjutnya, kuasa pimpinan yang ditunjuk tersebut dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia dan/atau anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan.

Sementara itu, Presiden sebagai mitra DPR dalam membentuk undang-undang dalam persidangan data memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan.

  1. Putusan.

Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis.Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya.Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.

Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat berupa:

  1. Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
  2. Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan dengan UUD;
  3. Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak dipenuhi.

Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.

Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali untuk permusyawaratan hakim.Setiap perkara selalu dilakukan oleh seluruh hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang, sehingga tidak ada pembagian perkara kepada majelis-majelis hakim.Sistem ini disebut full bench.Walau putusan diambil bersama-sama oleh kesembilan hakim, setiap hakim diberi hak untuk menyatakan pernyataan keberatan (dissenting opinion) atas suatu putusan yang sudah diputuskan bersama-sama.Pernyataan ini dijadikan bagian tak terpisahkan dari putusan.

Perlu untuk diketahui juga, bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang berada dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku selama belum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD.Terhadap materi muatan ayat, pasal, atau bagian undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali.

Tidak ada komentar: